Tampilkan postingan dengan label Catatan Remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Remaja. Tampilkan semua postingan

31 Jan 2014

Bersyukur dan Bersyukur...

By: rnppsalatiga On: Jumat, Januari 31, 2014
  • Berbagi
  • Sobat tahukah berapa harga harga Oksigen di apotik / rumah sakit ? harganya jika sobat belum tahu berkisar antara Rp 25rb/liter.

    Pernahkah kita menanyakan harga Nitrogen di apotik ? Jika belum tahu berkisar antara Rp 9.950/ltr

    Tahukah sobat bahwa :
    Dalam sehari manusia menghirup 2880 liter Oksigen & 11.376 liter Nitrogen untuk berlangsungnya kehidupannya & jika harus dihargai dengan Rupiah, maka Oksigen & Nitrogen yang kita hirup akan mencapai Rp.170 Jutaan/ hari / manusia

    Jika kita hitung kebutuhan kita sehari Rp.170 jt, maka sebulan Rp.5,1M/org

    Org yg paling KAYA pun tdk akan sanggup melunasi biaya nafas hidupnya & Tuhan memberikan kepada kita secara GRATIS !

    Masihkah kita belum mau BERSYUKUR?!! Dari sini kita bisa belajar bagaimana kita seharusnya menghargai kehidupan, alam, dan bersyukur pada Tuhan karena kita dapatkan itu semua gratis sebagai bukti kasih sayangNya.

    19 Jan 2014

    Terima Kasih Sahabat

    By: rnppsalatiga On: Minggu, Januari 19, 2014
  • Berbagi
  • Tak terasa telah tujuh tahun sudah waktu berlalu. Dan dalam kurun itu banyak sekali kejadian yang terekam. Waktu yang apabila diibaratkan dengan dengan anak sekolah, kami baru kelas satu SD. Baru mengenal bagaimana cara membaca dan menulis huruf. Dan baru mengenal dunia luar, begitu banyak sahabat baru yang di dapat. Dan sangat banyak pengalaman yang di dapat dengan aneka rupa. 
    Rasanya kebahagiaan itu ibarat anak kalas satu SD yang berhasil mendapat pujian gurunya, " Waah kamu sudah pintar menulis ya..!". Hati ini begitu berbunga-bunga, dan dalam perjalanan pulang terasa riang. Seakan-akan ingin berkata, "Ibu, tadi ibu guru berkata kalau aku sudah menulis dengan benar". Ah, satu rasa kebahagiaan yang begitu luar biasa. 
    Kami menyadari kegiatan yang diadakan memang tidak segebyar yang kami lihat yang ada pada teman-teman. Rasanya ingin sekali berbuat seperti itu, tapi apa daya, kemampuan kami hanyalah seperti ini. Tapi kami akan selalu melangkah untuk memperbaiki diri. Memperbaiki mana yang salah, menambal mana yang kurang. 
    Terima kasih Mas Haris, Tatag, Adhi J-Dhek, Luluk, Dhian, Mas Rizal, Bu Tirta, Mas Guntoro, Mbak, Ita, Mbak Lucia, Fara Mustofa, Mas Ardi dan teman-teman yang begitu banyaknya. Yang selama ini telah mendukung kami. 
    Kami Berjanji Bahwa RNPP Salatiga adalah Penyejuk Hati Menebar Peduli.

    27 Mar 2013

    Wasiat Luqman Al Hakim kepada anaknya

    By: rnppsalatiga On: Rabu, Maret 27, 2013
  • Berbagi
  • Allah berfirman :
    وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
    “dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “ hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar benar kezaliman yang besar.” [Luqman :13]
     
    Ini adalah wasiat yang bermanfaat yang telah Allah kisahkan tentang luqman Al Hakim.
    1.
    وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
    “dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “ hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar benar kezaliman yang besar.” [Luqman :13]
    Jauhilah kesyirikan dalam peribadahan kepada Allah, seperti berdo’a kepada orang – orang yang telah mati atau orang – orang yang tidak berada di hadapannya. Rasulullah bersabda :
    “doa itu adalah ibadah.” [Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, ia berkata : Hasan Shahih].
    Dan ketika itu turun firman Allah Ta’ala :
    الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
    ” Orang – orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang yang mendapatkan pentunjuk” [Al An’am:82]
     
    2. berbuat baik kepada kedua orang tua.
    وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
    “dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik kepada kedua orang ibu – bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah – tambah, dan menyapihnya dalam 2 tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan dua orang ibu dan bapakmu,hanya kepada –Kulah kembalimu” [Qs. Luqman : 14]
    Kemudian luqman setelah menyebutkan wasiatnya kepada anaknya agar beribadah kepada Allah satu – satunya, menggandengkan dengan wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua karena besarnya hak keduanya.
     
    3. Taatilah keduanya dalam perkara yang ma’ruf.
    وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
    “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-ku, kemudian hanya kepada Kulah kembalimu, maka Kuberitaukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan [Qs Luqman : 15]
    Ibnu Katsir berkata;
    “maksudnya apabila kedua orang tua sangat bersemangat agar kamu mengikuti mereka berdua dalam agama mereka, maka janganlah terima hal itu. Dan hal itu tidak menghalangi untuk kamu mempergauli mereka berdua di dunia dengan baik, yaitu berbuat ikhsan kepada mereka, dan ikutlah jalan orang -orang mukmin”
     
    4. Setiap amalan pasti dibalas.
    وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
    “(luqman berkata) : “hai anakku, sesunguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha MengEtahui” [ Qs. Luqman : 16]
     
    5. Tegakan Sholat
    يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ
    “hai anakku, dirikanlah shalat”
    Melaksanakan dengan rukun-rukun dan kewajiban – kewajibannya dengan khusyu
     
    6. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
    وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ
    “dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar”.
    (di kutip dari buku Kiat Sukses Mendidik Anak, Pustaka Al Haura)

    70 TAHUN TANPA ADA TAGIHAN

    By: rnppsalatiga On: Rabu, Maret 27, 2013
  • Berbagi
  • Ada seorang laki-laki berusia 70 tahun yang menderita penyakit tidak bisa buang air kecil untuk beberapa hari tertentu. Setelah bertambahnya rasa sakit, dia pun mendatangi seorang dokter spesialis yang kemudian setelah dilakukan pemeriksaan, dia memberikan pilihan untuk dilakukan operasi pada kandung kemihnya. Laki-laki itu pun menyetujuinya tanpa pikir panjang demi terbebas dari rasa sakit tersebut.

    Setelah berhasil dilakukan operasi, sang dokter mendatanginya dan menuliskan beberapa resep obat berikut memberikan tagihan rumah sakit. Saat lelaki itu melihat kepada tagihan itu, dia pun menangis. Maka sang dokter berkata kepadanya, ‘Jika tagihan itu memberatkan Anda, saya bisa membuat keringanan bagi Anda.’

    Maka laki-laki itu pun menjawab, ‘Bukan itu yang membuatku menangis, yang membuatku menangis adalah bahwa Allah telah memberikan nikmat bisa buang air kecil kepadaku selama tujuh puluh tahun, dan tidak pernah mengirimkan tagihan apapun kepadaku sebagai imbalannya.’

    Betapa Engkau Maha Penderma kepada hamba-hamba-Mu ya Allah, kami tidak bisa mengetahui nikmat-Mu kecuali setelah kehilangannya.

    Ya Allah, segala puji adalah milik-Mu atas segenap nikmat yang tidak berbilang dan tidak bisa terhitung.

    PESAN IBU

    By: rnppsalatiga On: Rabu, Maret 27, 2013
  • Berbagi
  • Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"

    "Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.

    Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.

    Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."

    Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."

    Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."

    Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.

    Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"

    "Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."

    Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.

    Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."

    Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."

    ===================================================

    Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.

    Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.

    23 Mar 2013

    Melatih Otak Agar Selalu Positif

    By: rnppsalatiga On: Sabtu, Maret 23, 2013
  • Berbagi
  • Sebagai seorang manusia biasa, banyak sekali tantangan yang terkadang membuat kita kehilangan kesabaran dan berburuk sangka terhadap banyak hal. Padahal pastinya kita mengetahui bahwa salah satu kunci kesuksesan dalam bidang apapun adalah berpikir positif. Matthew Della porta, salah satu psikolog mengatakan bahwa otak kita lebih cenderung untuk mencari informasi-informasi negatif dan menyimpan informasi negatif tersebut lebih cepat dibandingkan informasi positif.  Berpikir positif sebenarnya bisa dilatih secara perlahan-lahan, Entrepreneur.com menyarankan beberapa hal berikut untuk melatih otak kita untuk berpikir secara positif:

    1. Ekspresikan rasa terimakasih
    Pikiran negatif berkembang secara cepat di otak kita dengan atau tanpa pengaruh buruk dari orang lain. Pikiran negatif tentunya akan lebih berkembang jika kita bergaul dengan orang-orang yang membenarkan pikiran negatif tersebut. Jika pikiran negatif datang, maka berusahalah cari hal-hal positif yang bisa membantu otak anda untuk menyeimbangkan pikiran negatif ini. Luangkanlah waktu cukup lama untuk mencari-cari hal-hal baik senegatif apapun keadaan lingkungan. Bantulah otak anda untuk menyimpan hal-hal baik, jika perlu catatlah hal-hal positif yang pernah terjadi, sehingga jika anda berada pada keadaan pikiran yang negatif, maka lihatlah kembali catatan ini. Psikolog menyarankan untuk melihat catatan ini seminggu sekali. Jika perlu catatlah kebaikan-kebaikan yang anda dapatkan dalam 1 hari, dan bacalah sebelum anda tidur. Beberapa aplikasi iphone yang bisa digunakan untuk mencatat diari harian anda adalah DayOne dan OhLife.

    2. Ulanglah kalimat positif
    Seorang yang ahli dalam bidang periklanan mengatakan bahwa, semakin anda mendengar suatu informasi, semakin anda mudah untuk mempercayainya. Hal ini menjadi alasan kenapa iklan dipasang berulang-ulang di televisi. Hal ini bisa diaplikasikan untuk melatih otak agar lebih positif dengan cara mengulang-ulang kata-kata positif setiap pagi seperti tentang kelebihan anda dan apa prestasi yang sudah anda capai. Dengan mengulangi ini setiap hari anda melatih otak anda untuk percaya hal itu dan secara  tidak langsung alam bawah sadar anda merekam kata-kata ini dan akan berpengaruh ke tindakan dan pikiran anda. Buatlah kalimat-kalimat positif seperti “saya bisa menjalani ini, tenang saja masih ada waktu, saya bisa lebih baik dari hari ini”

    3. Tantanglah pikiran negatif yang muncul
    Setiap kali pikiran negatif datang, maka responlah pikiran negative ini. Otak kita menjadikan pikiran negative semakin besar dan semakin terperinci jika kita tetap terus memikirkannya. Jika anda merasa sangat susah untuk melawannya, maka carilah kegiatan lain yang bisa mengalihkan pikiran anda. Berjumpalah dengan orang-orang yang bisa membawa anda jadi lebih positif, pergilah ke tempat kegiatan yang positif dan hindari orang-orang yang bisa membenarkan pikiran negative anda.
    Melatih otak untuk lebih positif memang tidaklah gampang, tapi berpikirlah positif kalau anda bisa berpikir positif.

    14 Nov 2012

    CARA PRAKTIS MEMOTIVASI DIRI

    By: rnppsalatiga On: Rabu, November 14, 2012
  • Berbagi





  • Pernahkah Anda merasa kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu, seperti belajar atau bekerja?  Sungguh tidak enak rasanya melakukan sesuatu tanpa motivasi.  Motivasi adalah faktor penting dalam usaha kita.  Motivasi dapat mempengaruhi kinerja kita.  Mahasiswa atau pelajar memerlukan motivasi belajar yang kuat agar dapat berhasil di perguruan tinggi atau sekolahnya.  Demikian pula seorang pekerja di tempat kerjanya.  Tanpa motivasi, belajar atau bekerja menjadi suatu beban, bukan hal yang menyenangkan.  Belajar atau bekerja tanpa motivasi juga akan menghasilkan kinerja yang kurang memuaskan, baik bagi kita sendiri maupun bagi guru/dosen atau atasan kita.
    Mempertahankan motivasi adalah suatu perjuangan.  Semangat belajar atau bekerja kita selalu diganggu oleh berbagai fikiran negative yang melemahkan semangat itu.  Kadang-kadang kita merasa cemat atau khawatir tentang kemampuan kita menyelesaikan tugas atau pekerjaan itu dengan baik, atau tentang masa depan yang kelihatan suram, atau masalah keluarga yang mengganggu konsentrasi kita.  Setiap orang mengalami hal itu.  Cuma yang membedakan antara mereka yang berhasil dan mereka yang tidak berhasil dalam hidupnya adalah kemampuan mereka untuk tetap termotivasi dan terus maju, walaupun menemui banyak hambatan.
    Tak ada solusi sederhana bagi ketiadaan motivasi.  Bahkan setelah kita dapat mengatasinya, masalah itu akan muncul kembali ketika kita gagal.  Kuncinya adalah memahami fikiran kita dan bagaimana fikiran kita itu mendorong perasaan kita.  Dengan mempelajari bagaimana memelihara fikiran-fikiran yang memotivasi kita, menetralisir fikiran-fikiran yang negative, dan memusatkan perhatian pada tugas yang sedang kita hadapi, kita akan dapat menarik diri dari slump sebelum dia mencapai puncaknya.
    Mengapa kita bisa kehilangan motivasi?
    Ada 3 alasan utama kita bisa kehilangan motivasi:
    1. Kurang percaya diri.  Kalau kita tidak yakin akan berhasil, biasanya kita tidak berusaha keras untuk mencobanya.
    2. Kurang fokus.  Kalau kita tidak tahu apa yang kita inginkan, biasanya kita tidak benar-benar ingin berhasil. 
    3. Kehilangan arah.  Kalau kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan, biasanya kita tidak termotivasi untuk melakukannya.
    Kiat Untuk Mendorong Rasa Percaya Diri
    Faktor pertama yang dapat menghilangkan motivasi adalah kurangnya rasa percaya diri.  Biasanya ini terjadi karena kita lebih memusatkan perhatian pada apa yang kita inginkan (belum kita miliki) daripada apa yang telah kita miliki.  Akibatnya, fikiran kita menciptakan alasan mengapa kita tidak memilikinya.  Ini akan menciptakan fikiran-fikiran negative.  Kegagalan di masa lalu, pengalaman yang tidak mengenakkan, dan kelemahan pribadi mendominasi fikiran kita.  Kita menjadi iri dengan pesaing kita dan mulai mencari-cari alasan mengapa kita tidak berhasil.  Dalam keadaan seperti ini, kita cenderung mempunyai kesan yang buruk, berprasangka jelek pada orang lain, dan kehilangan rasa percaya diri.
    Cara untuk mengatasi pola fikiran seperti ini adalah dengan memusatkan perhatian pada rasa syukur.  Sediakan waktu untuk memusatkan perhatian pada hal-hal positif dalam hidup kita.  Secara mental, ingatlah semua kelebihan kita, keberhasilan-keberhasilan di masa lalu, dan keuntungan di masa kini.  Kita cenderung meremehkan kekuatan kita dan terus mengingat-ingat kegagalan kita.  Dengan berusaha merasa bersyukur, kita akan menyadari kemampuan dan keberhasilan kita.  Ini akan membangkitkan kembali rasa percaya diri kita dan membuat kita termotivasi untuk terus berusaha dengan bermodalkan keberhasilan kita saat ini.
    Mungkin akan kedengaran aneh bahwa mengulangi hal-hal yang sudah kita ketahui dapat meningkatkan cara berfikir kita, tapi hal itu memang benar-benar efektif.  Fikiran kita dapat mengubah gambaran kenyataan untuk memperkuat apa yang ingin dipercayainya.  Semakin negative kita berfikir, semakin banyak pula contoh yang akan ditemukan oleh fikiran kita untuk memperkuat keyakinan itu.  Kalau kita benar-benar yakin bahwa kita pantas untuk berhasil, maka fikiran kita pun akan menghasilkan berbagai cara untuk mencapainya.  Cara terbaik untuk mendatangkan keberhasilan kepada kita adalah dengan benar-benar ingin menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
    Mengembangkan Fokus Yang Nyata
    Faktor ke dua yang dapat menghilangkan motivasi adalah kehilangan fokus.  Kita biasanya lebih suka memusatkan perhatian pada tujuan yang kongkrit daripada sesuatu yang tidak kita sukai.  Biasanya kita berfikir berdasarkan rasa takut.  Kita takut menjadi miskin.  Kita takut kalau-kalau tidak ada orang yang akan menghormati kita.  Kita takut sendirian.  Cara berfikir seperti ini merugikan.  Alih-alih menghilangkan rasa takut, fikiran tersebut bahkan akan memperkuat rasa takut itu dan menguras motivasi kita.
    Kalau Anda terjebak dalam fikiran yang didasari rasa takut ini, maka langkah pertama yang dapat Anda lakukan adalah memusatkan energi Anda pada tujuan yang tergambar dengan baik.  Dengan menetapkan suatu tujuan, Anda secara otomatis menetapkan serangkaian tindakan.  Kalau Anda takut miskin, buatlah rencana untuk meningkatkan penghasilan Anda.  Rencana itu bisa berupa mengikuti kursus pelatihan untuk meningkatkan kemampuan, mencari pekerjaan yang gajinya lebih tinggi, atau menulis buku.  Kuncinya adalah bergerak dari keinginan yang tidak nyata ke tindakan yang kongkrit dan dapat diukur.
    Dengan memusatkan fikiran Anda pada tujuan yang positif dan bukan pada rasa takut yang tidak jelas, Anda menyuruh otak Anda untuk bekerja.  Dengan cepat otak Anda mulai membuat rencana untuk mencapai keberhasilan.  Alih-alih mengkhawatirkan masa depan, Anda mulai berbuat sesuatu untuk mempersiapkan masa depan itu.  Ini adalah langkah pertama untuk memotivasi diri Anda sendiri untuk mengambil tindakan.  Kalau Anda tahu apa yang Anda inginkan, Anda akan termotivasi untuk mengambil tindakan.
    Menetapkan Arab
    Langkah ke tiga dalam memotivasi diri ini adalah penetapan arah.  Kalau fokus berarti mempunyai tujuan akhir, maka arah berarti mempunyai strategi hari-demi-hari untuk mencapai tujuan tersebut.  Ketiadaan arah dapat membunuh motivasi karena, tanpa adanya tindakan berikutnya yang jelas, kita akan mengalah pada keinginan untuk menunda pekerjaan.  
    Kunci untuk menemukan arah adalah mengenali kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keberhasilan.  Untuk setiap tujuan itu ada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat bagi pencapaian tujuan.  Buatlah daftar semua kegiatan Anda dan aturlah kegiatan-kegiatan itu berdasarkan hasilnya.  Kemudian buatlah rencana tindakan yang difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan hasil besar.
    Memonitor penyelesaian tugas-tugas Anda yang paling penting akan mengarahkan energi Anda ke arah keberhasilan.  Tanpa adanya monitoring yang teratur, mudah sekali kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang kurang penting.
    Apabila motivasi kita mulai menurun, itu pertanda kita sedang kehilangan arah.  Kita dapat memperoleh kembali arah yang hilang itu dengan membuat rencana yang berisi dua tindakan positif.  Yang pertama berupa tugas kecil yang telah kita ingin kerjakan, sedangkan yang ke dua berupa tujuan jangka panjang.  Segera kerjakan tugas kecil itu.  Ini akan menciptakan momentum yang positif.  Sesudah itu, lakukan langkah pertama untuk mencapai tujuan jangka panjang.  Dengan melakukan hal ini secara berkala, kita akan dapat keluar dari suasana motivasi yang menurun, menciptakan penguatan yang positif, dan menggerakkan kembali rencana jangka panjang kita.
    Tak bisa dielakkan bahwa Anda akan menemui masa-masa di mana Anda merasa kehabisan tenaga, bernasib sial, dan bahkan kadang-kadang merasa gagal.  Kalau Anda tidak mendisiplinkan fikiran Anda, gelombang-gelombang kecil ini dapat menjadi monster mental yang dahsyat.  Dengan selalu mewaspadai tiga pembunuh motivasi di atas, insya Allah Anda akan dapat mempertahankan motivasi Anda dan maju terus ke arah keberhasilan Anda. Wallahu a’lam bissawab.

    24 Okt 2012

    Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh

    By: rnppsalatiga On: Rabu, Oktober 24, 2012
  • Berbagi

  • Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
    Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.
    Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,
    كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
    “Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
    Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
    Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)
    Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
    Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
    “Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
    ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
    ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
    “Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
    Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu
    Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
    “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
    Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
    Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”
    Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”
    Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
    Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”
    Al Munawi mengatakan,
    فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا
    “Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)
    Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.
    Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya
    Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,
    لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
    “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)
    Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.
    “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.
    An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
    Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
    Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.
    اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
    “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
    Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
    Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.
    Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.
    Daud Ath Tho’i mengatakan,
    إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك
    Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)
    Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
    إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
    “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)
    Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
    Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

    20 Okt 2012

    Tanggung Jawab Penuntut Ilmu (3): Ikhlas dan Niat yang Baik

    By: rnppsalatiga On: Sabtu, Oktober 20, 2012
  • Berbagi

  • Orang yang tidak memiliki ilmu tidaklah dianggap sebagai seorang ulama. Orang yang seperti ini tidak akan memberi manfaat kepada manusia, baik dalam permasalahan dakwah atau perkara-perkara dunia. Yang saya maksud di sini adalah manfaat yang konkrit dan hasil yang nyata, walaupun terkadang orang yang tidak berilmu bisa memberi manfaat kepada sebagian manusia dengan nasehat yang dia ketahui, atau dengan suatu permasalahan yang dia hafal, atau dengan bantuan materi yang dia berikan kepada orang lain. Akan tetapi manfaat yang konkrit akan muncul dari kejujuran, keikhlasan, banyaknya ilmu, kemapanan ilmu serta kesabaran dari seorang penuntut ilmu.
    Ada suatu permasalahan yang penting, yaitu tanggung jawab yang ada pada seorang penuntut ilmu dari sisi menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Karena sesungguhnya para ulama adalah pengganti dan pewaris para rasul. Kedudukan para rasul tidaklah tersamar lagi, merekalah pembimbing dan pemberi petunjuk bagi umat. Mereka adalah pengantar umat menuju kepada kebahagiaan dan keselamatan. Sehingga dalam hal ini, para ulama menempati kedudukan para rasul dalam menyampaikan ilmu syar’i.
    Kerasulan telah ditutup oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga tugas yang tersisa saat ini adalah menyampaikan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berdakwah, menjelaskan dan menyebarkannya kepada manusia. Semua itu tidak ada yang lebih pantas untuk melakukannya kecuali para ulama. Karena Allah subhanahu wata’ala telah memberi mereka keahlian untuk berdakwah, membimbing umat dengan perkataan, perbuatan dan perjalanan hidup mereka yang zhahir dan batin.
    Oleh karena itu, kewajiban mereka sangatlah besar. Dan mereka harus berhati-hati, karena umat berada dalam tanggungan mereka. Selain itu umat juga sangat membutuhkan penyampaian dan penjelasan ulama dengan berbagai sarananya.
    Di zaman ini sarana-sarana untuk melakukan dakwah sangatlah banyak. Di antaranya adalah media massa yang berbentuk bacaan, maupun media audio/visual. Sarana-sarana tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam menyesatkan manusia maupun memberikan petunjuk kepada mereka. Begitu pula khutbah-khutbah di hari Jum’at, hari raya, acara-acara tertentu, seminar, perayaan-perayaan apa saja (yang syar’i), terbitan-terbitan baik berupa buku yang besar ataupun kecil. Sarana-sarana tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap dakwah. Alhamdullilah, sarana-sarana dakwah yang ada pada zaman ini begitu mudah dan banyak.
    Namun, yang menjadi musibah adalah lemahnya semangat seorang penuntut ilmu serta berpaling dan lalainya dia dari menuntut ilmu. Inilah musibah yang sangat besar. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
    Di alam semesta ini, tidak ada seorang pun yang lebih baik ucapannya daripada mereka, terutama para rasul dan nabi, kemudian para ulama yang setelah mereka. Setiap kali ilmu bertambah banyak, dan rasa taqwa, takut serta ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala bertambah sempurna, maka manfaat yang diperoleh akan bertambah banyak. Sehingga dakwahnya kepada ajaran Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam bertambah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Setiap kali rasa taqwa, ilmu dan takut kepada Allah subhanahu wata’ala melemah atau sedikit, di sisi lain dia diuji dengan kesibukan-kesibukan dan syahwat dunia maka akan sedikit pula ilmu dan kebaikannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
    Allah subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa misi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan dilandasi ilmu. Dan Allah subhanahu wata’ala memerintahkan beliau untuk menyampaikan hal tersebut kepada umatnya. “قُلْ ” yaitu katakanlah (wahai Rasul kepada manusia), هَذِهِ سَبِيْلِي (inilah jalan (agama) ku) yaitu syariat dan jalan yang aku berada di atasnya, berupa ucapan atau perbuatan. Itulah jalanku dan manhajku menuju kepada Allah subhanahu wata’ala.
    Oleh karena itu, seorang yang berilmu wajib untuk berjalan di atas jalan yang telah ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini, yaitu dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan berlandaskan ilmu. Itulah jalan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga jalan orang-orang yang mengikutinya.
    Sehingga seorang hamba tidak akan menjadi pengikut Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang sejati dan sempurna kecuali apabila dia menelusuri jalannya. Maka barangsiapa yang berdakwah kepada Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berlandaskan ilmu, berlepas diri dari syirik dan istiqamah di atas kebenaran, maka dia adalah pengikut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu Allah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman setelahnya,
    “Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).

    Seorang dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala lagi jujur dalam berdakwah, dialah orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas ilmu. Bukannya dengan kedustaan atau perkataan tentang Allah tanpa ilmu, Maha tinggi Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Bersamaan dengan itu dia mensifati Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sifat-sifat kesempurnaan, mensucikan-Nya dari penyerupaan dengan makhluk, mentauhidkan-Nya, ikhlas kepada-Nya dan berlepas diri dari syirik beserta pelakunya.
    Seorang dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala wajib untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan beristiqamah di atas syariat-Nya. Di samping itu, dia mensucikan Allah subhanahu wata’ala dari menyerupakan-Nya dengan makhluk, mensifati-Nya dengan sifat yang ditetapkan oleh Dia sendiri atau oleh Rasul-Nya, mensucikan-Nya dari sifat-sifat kekurangan dan kelemahan, menetapkan Asma`ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi nan sempurna yang terdapat dalam Al Qur`an atau Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam Al Amin dalam bentuk penetapan yang layak bagi kemuliaan-Nya dengan tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk-Nya -pent) dan mensucikan-Nya tanpa ta’thil (meniadakan makna sifat Allah subhanahu wata’ala yang haq -pent).
    Oleh karena itu, seorang hamba wajib menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah subhanahu wata’ala dengan penetapan yang sempurna tanpa tamtsil dan tasybih (menyerupakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk-Nya, pen), mensucikan semua sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala dari penyerupaan terhadap makhluk dengan pensucian yang bersih dari ta’thil.
    Selain itu, seorang hamba wajib menamai Allah subhanahu wata’ala dengan Asma`ul Husna, mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang mulia yang terdapat dalam Al Qur`an atau sunnah yang shahih tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil, tanpa menambah dan mengurangi. Dengan demikian, dia adalah seorang pengikut Rasul, bukan ahlu bid’ah. Dia telah berjalan di atas manhaj lurus yang telah ditempuh oleh para rasul dan para pengikutnya dengan baik, yang paling utama dari mereka adalah Nabi kita Muhammad subhanahu wata’ala dan para shahabat beliau yang setelahnya. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, di mana pelopor mereka adalah para imam yang terkenal setelah shahabat seperti Al Imam Malik bin Anas, Al Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Al Imam Al Auza’i, Al Imam Sufyan Ats-Tsauri, Al Imam Ishaq bin Rahuyah, dan para ulama selain mereka yang berjalan di atas manhaj yang lurus dalam hal menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala, serta mensucikan-Nya dari penyerupaan terhadap makhluk.(*)
    Sumber: (Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, Asy Syaikh Ibn Baaz, penerbit Al Husna Jogjakarta)

    Tanggung Jawab Penuntut Ilmu (2): Ikhlas dan Niat yang Baik

    By: rnppsalatiga On: Sabtu, Oktober 20, 2012
  • Berbagi

  • Dia juga mempunyai tanggung jawab yang lain dari sisi keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala, pengawasan-Nya terhadap dirinya dan menjadikan tujuannya adalah untuk mendapatkan ridha-Nya, menunaikan kewajiban, melepaskan tanggungan dan memberi manfaat kepada manusia. Juga, dia tidak bertujuan untuk mencari harta dan kehormatan dunia, karena hal tersebut adalah keadaan orang-orang munafiq atau para penjilat dunia yang semisal mereka.
    Dia juga tidak bertujuan untuk riya` (dilihat orang) dan sum’ah (didengarkan orang). Namun tujuannya hanyalah memberi manfaat kepada hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala, dan tentu yang paling pertama adalah mencari ridha Allah subhanahu wata’ala.
    Segala sesuatu yang akan dia ucapkan, fatwakan dan amalkan, hendaknya didasari oleh dalil. Hendaknya dia menghindari tasahul (meremehkan permasalahan), karena seorang penuntut ilmu diikuti oleh umat dalam perbuatan dan amalannya.
    Apabila dia adalah seorang pengajar, maka murid-muridnya akan mencontohnya. Apabila dia adalah seorang ahli fatwa, maka manusia akan mengambil fatwa-fatwanya. Begitu pula apabila dia adalah seorang dai. Oleh karena itu, dia harus berhati-hati, terlebih lagi apabila dia adalah seorang hakim maka tanggung jawabnya akan lebih besar.
    Sehingga seorang penuntut ilmu wajib untuk mempunyai sikap yang diridhai oleh Rabb-Nya yaitu ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala, jujur dalam mencari ridha-Nya, bersemangat tanpa pernah berputus asa dalam usahanya untuk mengetahui dalil-dalil syar’i dan menelitinya, sehingga dia berdiri di atas dalil.
    Dengan demikian, dunia yang ada di depannya akan terasa longgar. Sehingga ketika dia berfatwa, berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, mengajarkan ilmu kepada manusia, memerintahkan mereka kepada perkara yang baik, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, semuanya dilakukan berlandaskan ilmu. sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
    “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashiroh.” (Yusuf: 108)
    Dan firman-Nya: البَصِيْرَةُ (bashiroh), ditafsirkan oleh para ulama dengan ilmu. (*)
    Sumber: (Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, Asy Syaikh Ibn Baaz, penerbit Al Husna Jogjakarta)

    Tanggung Jawab Penuntut Ilmu (1): Mempersiapkan diri dan Mempelajari Ilmu Agama

    By: rnppsalatiga On: Sabtu, Oktober 20, 2012
  • Berbagi

  • Dalam permasalahan ini, seorang penuntut ilmu mempunyai tanggung jawab dari sisi persiapan dirinya. Yaitu mempersiapkan dirinya untuk mengajar dan berdakwah, menunaikan kewajiban dan berkonsentrasi terhadap ilmu, mempelajari ilmu agama, muraja’ah (mengulang kembali) dalil-dalil syar’i dan mencurahkan perhatian terhadapnya.
    Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu sangat membutuhkan perbekalan yang besar berupa dalil-dalil syar’i, mengetahui pendapat para ulama dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, mengetahui pendapat yang terkuat pada permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan oleh mereka dengan dalil dari Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa taqlid (fanatik) terhadap pendapat syaikh ini atau syaikh itu. Karena seandainya hanya sekedar taqlid, maka semua orang mampu untuk melakukannya. Dan hal tersebut tidak teranggap sebagai ilmu.
    Al Imam Abu ‘Umar bin Abdulbarr –seorang imam yang masyhur, penulis kitab At-Tamhid dan lainnya– berkata,
    “Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang taqlid tidak dianggap sebagai seorang ulama.”
    Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang besar. Yaitu memberikan perhatian kepada dalil syar’i, bersungguh-sungguh untuk mengetahui hujjah-hujjah berbagai permasalahan dan hukum-hukum yang berasal dari Al Qur`an dan As Sunnah serta dari kaidah-kaidah yang telah diterima oleh para ulama. Dan hendaknya dia berada di atas keterangan yang kuat dan hubungan yang kokoh dengan pendapat para ulama, karena pengetahuannya terhadap perkataan para ulama akan membantunya untuk memahami dalil-dalil, mengeluarkan hukum dan membedakan antara pendapat yang rajih (kuat) dan marjuh (lemah). (*)
    Sumber: Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, Asy Syaikh Ibn Baaz, penerbit Al Husna Jogjakarta.

    14 Okt 2012

    Al Hilm, Al Anah dan Ar Rifq: Ketinggian Akhlaq Lemah Lembut

    By: rnppsalatiga On: Minggu, Oktober 14, 2012
  • Berbagi

  • Tiga perkara ini (Al Hilm, Al Anah dan Ar Rifq) memiliki makna yang berdekatan. Ketiganya mengandungmakna berlemah lembut dalam bermuamalah dengan sesama. Oleh karena itu, para ulama menjadikan pembahasannya dalam satu bab.
    Al Hilm (الحلم) maknanya adalah seseorang bisa menguasai dirinya ketika marah.  Jika seseorang dilanda amarah maka dengan segera dia bisa menguasai dirinya, tidak terburu-buru merespon atau memberikan balasan.
    Sedangkan Al ‘Anah (الأناة) maknanya adalah berhati-hati dalam menghadapi permasalahan dan tidak tergesa-gesa. Artinya seseorang tidaklah mengambil sebuah permasalahan dengan zhahirnya belaka, lalu dia pun dengan tergesa-gesa menghukumi permasalahan tersebut sebelum dia menelitinya dengan lebih lanjut.
    Adapun Ar Rifq (الرفق) maknanya adalah: Bermuamalah dengan manusia dengan lemah lembut bahkan sampai-sampai jika orang tersebut berhak untuk mendapat hukuman dan sanksi maka dia pun tetap memperlakukannya dengan lemah lembut.

    Tingginya kedudukan tiga sifat ini
    Ketiga sifat ini banyak mendapat pujian dalam di syariat Islam.
    Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Asyaj ‘Abdul Qais,
    إنَّ فيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ : الْحِلْمُ وَالأنَاةُ
    “Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai Allah yaitu al hilm dan al anah”. (HR. Muslim)
    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ ، وَيَعْطِي عَلَى الرِّفْقَ مَا لاَ يَعْطِي عَلَى الْعُنْفِ ، وَمَا لاَ يَعْطِي عَلَى سِوَاهُ
    “Sesungguhnya Allah Rafiq (Maha Lembut), dan mencintai rifq/kelembutan, Dia memberikan pada rifq, apa-apa yang tidak diberikan pada sikap ‘anaf (keras), dan tidak pula Dia memberikan pada yang selainnya”. (HR. Muslim)
    Dari beliau (‘Aisyah) radhiyallahu ‘anha juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ ، وَإِيَّاكَ وَالْعُنْفِ ، وَالْفَحْشِ ، إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يَنْزِعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
    “Wajib bagimu untuk berbuat lemah lembut, berhati-hatilah dari sikap keras dan keji, sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut ada pada suatu perkara kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, melainkan akan memburukkan perkara tersebut”. (HR. Muslim)
    Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ ، يُحْرَمُ الْخَيْرَ كُلَّهُ
    “Barang siapa yang diharamkan baginya rifq, diharamkan baginya kebaikan seluruhya”. (HR. Muslim)


    Kelembutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalh figur yang penuh kasih sayang dan kelemahlembutan. Allah ta’ala berfirman,

    لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
    “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
    Kasih sayang dan kelemahlembutan beliau nampak pada Hadits-hadits berikut:
    1. Kisah Arab Badui yang Kencing di Masjid
    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tatkala kami dimasjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang A’rabi  (Arab dusun) kencing di masjid, maka para sahabat menghardiknya, “Mah mah (yaitu pergi/tinggalkan)”.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jangan kalian hardik, biarkan dia (jangan putus kencingnya)”.
    Parasahabat membiarkan A’rabi  tersebut untuk menunaikan kencingnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya masjid-masjid tidak boleh untuk kencing, tetapi dipergunakan untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al Qur’an”.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat-sahabatnya, “Sungguh kalian diutus untuk memudahkan dan tidak untuk menyulitkan, guyurlah air kencing tadi dengan satu ember air”.
    A’rabi  itu berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati selain kami”.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh engkau telah mempersempit perkara yang luas.”(Muttafaqun ‘alaihi)

    2. Metode Beliau dalam Menegur Para Sahabat
    Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam ‘Aisyah-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tatkala aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba ada seseorang yang shalat itu bersin.
    Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu mendoakan, “Semoga Allah merahmatimu”.
    Orang-orang yang shalat melihat kepadaku dalam rangka mengingkari. Mu’awiyah mengatakan kepada mereka, “Kenapa kalian melihatku begitu?”
    Orang-orang yang shalat memukulkan tangan-tangan mereka ke paha-paha mereka dengan tujuan supaya diam, maka Muawiyah pun diam tatkala mereka diam sampai selesai shalat.
    Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Demi ibu bapakku, aku tidak pernah melihat seorang pengajar sebelum atau sesudahnya yang paling baik pengajarannya dibanding beliaumaka demi Allah, beliau tidak memojokkan aku, tidak memukulku dan tidak mencelaku”.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh sesuatu pun padanya yang berupa ucapan manusia, tetapi shalat itu tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an”.
    Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru lepas dari masa jahiliyah, dan Allah datangkan Islam. Dan sesungguhnya ada di antara kami orang-orang yang mendatangi dukun yang mereka mengakui ilmu ghaib”.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kamu mendatangi mereka!!”
    Mua’wiyah radhiyallahu ‘anhu, “Dan di antara kami ada orang-orang yang ber-tathayur (menganggap sial dengan sesuatu).”
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah sesuatu yang didapatkan pada dada-dada mereka, maka jangan sampai menghalangi mereka dari tujuan-tujuan mereka, karena yang demikian itu tidak berpengaruh, tidak mendatangkan manfaat mau pun mudharat.” (HR. Muslim)

    3. Bimbingan Beliau terhadap ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu
    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Orang-orang Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdan berkata, “Kebinasaan bagimu”. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bagi kalian juga”. ‘Aisyah berkata, “Kebinasaan bagi kalian, laknat dan murka Allah atas kalian”.
    Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahan wahai ‘Aisyah, wajib bagimu untuk lemah lembut, hati-hati kamu dari sikap keras dan keji”.
    ‘Aisyah, “Apakah kamu tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku ucapkan, aku telah membalas mereka dan itu dikabulkan bagiku dan ucapan mereka terhadapku tidaklah dikabulkan “. (HR. Al Bukhari)
    Dalam riwayat Muslim, “Jangan kamu (wahai ‘Aisyah) menjadi orang yang berbuat keji, karena sesungguhnya Allah tidak suka terhadap perkataan kotor/keji dan mengatakan dengan ucapan kotor”.

    4. Wasiat Beliau ketika Mengutus Para Da’i
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika mengutus sahabatnya dalam suatu urusan, beliau bersabda,
     بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَيَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
    “Gembirakanlah mereka, jangan bikin lari, permudah urusan mereka, jangan mempersulit”. (Muttafaqun ‘alaihi)

     
    Lemah Lembut dalam Mengajak Orang kepada Kebaikan
    Lemah lembut dalam berdakwah adalah salah satu modal utama di dalam berdakwah. Allah ta’ala berfirman,
    فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
    “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)
    Dikatakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Bagaimana sepantasnya seseorang memerintahkan kepada yang ma’ruf?”
    Beliau menjawab,
    “Hendaknya dia memerintah dengan lemah lembut dan merendahkan diri.” Kemudian beliau berkata, “Jika mereka memperdengarkan kepadanya perkara yang dia benci, jangan dia marah, sehingga jadilah dia ingin membela dirinya.” (Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Munkar, Abu Bakr bin Al Khallal, hal 52)
    Al-Imam Sufyan berkata,
    “Janganlah memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar kecuali orang yang di dalamnya ada tiga perkara: Berlemah-lembut dengan apa yang ia perintahkan dan lemah-lembut dengan apa yang ia larang, adil dengan apa yang ia perintahkan dan adil dengan apa yang ia larang, mengilmui apa yang ia perintahkan dan mengilmui apa yang ia larang.” (Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Munkar, Abu Bakr bin Al Khallal, hal 37)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
    “Maka semestinya untuk mempunyai tiga hal: Ilmu, sikap lemah lembut, dan kesabaran. Ilmu sebelum memerintahkan dan melarang, sikap lemah-lembut bersamanya, dan kesabaran setelahnya. Dan setiap dari tiga hal ini mesti menemaninya dalam keadaan-keadaan ini.” (Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi anil Munkar, Ibnu Taimiyyah, hal 18)
    Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

    Sumber:
    -          Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
    -          Qutufun min Syamaaili Al Muhammadiyyah, Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
    -          Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi anil Munkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
    -          Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi anil Munkar, Abu Bakr bin Al Khallal