Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
25 Mar 2013
15 Nov 2012
Beda Hadiah dengan Hibah
By:
rnppsalatiga
On: Kamis, November 15, 2012
Dalam syariat Islam, terdapat banyak istilah
syar'i yang telah didefiniskan oleh para ulama. Mereka berusaha agar antara
istilah satu dengan istilah yang lainnya tidak saling berbenturan
makna-maknanya dan definisi tersebut benar-benar mencakup makna yang sempurna,
tidak menimbulkan distorsi dari pengertian yang dimaksud, dan tidak bertabrakan
dengan makna istilah lainnya, atau sering diistilahkan dengan definisi yang
jaami' dan maani'.
Diantara istilah-istilah syariat yang sering
digunakan di masyarakat adalah istilah sedekah, hadiah, dan hibah. Ketiga
istilah ini adalah kata yang menunjukkan aktivitas memberi. Namun, karena tidak
dipahami maknanya dan dimana letak perbedaannya, orang sering menyebut setiap
pemberian dengan sedekah. Tentu saja penggunaan ini tidak tepat, selain
merancukan istilah syariat, penggunaan demikian juga bisa mengandung
konsekuensi yang berbeda-beda.
Ibnu Utsaimin mengatakan, "Sedekah adalah
pemberian yang orientasinya adalah akhirat alias pahala dan ganjaran di
akhirat. Sedangkan hadiah adalah pemberian yang tujuannya adalah meraih simpati
dan rasa suka pihak yang diberi kepada pihak yang memberi.
Adapun hibah adalah pemberian yang tujuannya
adalah memberi manfaat kepada pihak yang diberi dengan “menutup mata” apakah
akan mendapatkan pahala di akhirat ataukah tidak dan apakah akan mendapatkan
simpati dari pihak yang diberi ataukah tidak." (Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq
beliau untuk al-Qawaid wal Ushul al-Jamiah karya Ibnu Sa'di Hal. 92 terbitan
Yayasan Sosial Ibnu Utsaimin cet pertama 1430 H).
11 Sep 2012
Menyentuh Najis Tidak Membatalkan Wudhu
By:
rnppsalatiga
On: Selasa, September 11, 2012
Batalkah Wudhu Ketika Menyentuh Najis?
Pertanyaan:
Apakah menyentuh najis bisa membatalkan wudhu? Misanya, nyeboki anak trus kena najisnya, apakah wajib mengulangi wudhu?
Tri, Klaten
Jawaban:
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du
Menyentuh najis bukan termasuk pembatal wudhu. Karena yang menjadi pembatal wudhu adalah hadas, bukan menyentuh najis.
Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan:
لا ينتقض الوضوء بغسل النجاسة على بدن المتوضئ أو غيره
“Wudhu tidak batal disebabkan mencuci najis, baik yang berada di badan orang yang wudhu maupun orang lain.” (Majalah Buhuts Islamiyah, volume 22, Hal. 62)
Syaikh Ibnu Baz juga menjelaskan yang sama:
“أما مس الدم أو البول أو غيرهما من النجاسات فلا ينقض الوضوء ، ولكن يغسل ما أصابه
Menyentuh darah, atau air kencing atau benda najis lainnya, tidak membatalkan wudhu. Hanya saja, dia harus mencuci bagian yang terkena najis. (Fatawa Ibnu Baz, 10: 141)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/menyentuh-najis-tidak-membatalkan-wudhu/#ixzz267EN349X
10 Sep 2012
Posisi Makmum yang Hanya Satu Orang
By:
rnppsalatiga
On: Senin, September 10, 2012
Bagaimana sebenarnya contoh yang diberikan oleh Rasulullah dalam sholat berjama’ah yang makmumnya hanya satu orang? Sebaiknya kita mempelajari hadits-hadits berikut ini sebelum mengambil kesimpulan.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku pernah sholat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang kepalaku dari belakangku, lalu ia tempatkan aku disebelah kanannya.” (Hadits shahih Riwayat Bukhari 1/177).
Dari Jabir bin ‘Abdullah , ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri sholat, kemudian aku datang lalu aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memegang tanganku , lantas ia memutarkan aku sehingga ia menempatkan aku di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr yang langsung ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Lalu beliau memegang tangan kami sehingga beliau menempatkan kami di belakangnya.” ( Hadits shahih riwayat Muslim dan Abu Dawud).
Dari Jabir bin ‘Abdullah , ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri sholat, kemudian aku datang lalu aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memegang tanganku , lantas ia memutarkan aku sehingga ia menempatkan aku di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr yang langsung ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Lalu beliau memegang tangan kami sehingga beliau menempatkan kami di belakangnya.” ( Hadits shahih riwayat Muslim dan Abu Dawud).
Dua dalil di atas mengandung hukum sebagai berikut :
- Apabila ma’mum seorang , maka ia harus berdiri di sebelah kanan imam.
- Berdiri di sebelah kanan imam harus sejajar dengan imam, bukan di belakangnya. Dikatakan demikian karena dalam hadits Jabir bin Abdullah sewaktu datang Jabbar bin Shakhr lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menempatkan keduanya dibelakangnya. Ini menunjukkan kedua Shahabat tadinya berada di samping Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sejajar dengan beliau. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menempatkan mereka di belakangnya. Tidak akan dikatakan di belakang kalau bukan mulanya kedua sahabat itu berada sejajar dengan beliau.
- Apabila ma’mum dua orang atau lebih, maka harus berdiri di belakang imam.(membuat shaf)
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “Aku pernah sholat di sisi/tepi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam , dan ‘Aisyah sholat bersama kami di belakang kami, sedang aku berada di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Aku sholat bersamanya.” (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i).
Keterangan :
- Perkataan : Aku pernah sholat di sisi/tepi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah terjemahan dari kalimat: Shollaitu ila janbin Nabiyyi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Kata ‘janbun’ dalam kamus-kamus bahasa ‘Arab artinya sisi, tepi, samping, sebelah, pihak, dekat.
- Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas ketika sholat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ia berada disamping sejajar dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa perempuan tempatnya di belakang. Baik yang jadi ma’mum itu seorang perempuan saja atau ada laki-laki dan perempuan.
Dalam kitab Al Muwaththa’ karangan Imam Malik diterangkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah sholat bersama ‘Umar. Ibnu Mas’ud berdiri di sebelah kanan ‘Umar setentang/sejajar dengannya.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Atha’ (seorang Tabi’in). Seseorang menjadi ma’mum bagi seseorang, dimanakah ia (ma’mum) harus berdiri? Jawab Atha’: Di tepinya. Ibnu Juraij bertanya lagi: Apakah si Ma’mum itu harus dekat dengan imam sehingga ia satu shaf dengannya, yaitu tidak ada jarak antara keduanya? Jawab Atha’ : YA. Ibnu Juraij bertanya lagi : Apakah si ma’mum tidak berdiri jauh sehingga tidak ada lowong antara mereka? Jawab Atha’ : YA. (Lihat Subulus Salam jilid 2 halaman 31).
Kesimpulan :
Apabila Ma’mum hanya seorang saja, maka ia harus berdiri di sebelah kanan sejajar dengan imam.
Penutup:
Tidak ada keterangan dan contoh atau dalil dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan atau menyuruh ma’mum apabila seorang harus bediri di belakang imam meskipun jaraknya hanya sejengkal seperti yang dilakukan oleh kebanyakan saudara-saudara kita sekarang ini.
Apabila Ma’mum hanya seorang saja, maka ia harus berdiri di sebelah kanan sejajar dengan imam.
Penutup:
Tidak ada keterangan dan contoh atau dalil dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan atau menyuruh ma’mum apabila seorang harus bediri di belakang imam meskipun jaraknya hanya sejengkal seperti yang dilakukan oleh kebanyakan saudara-saudara kita sekarang ini.
Hukum Berwudhu’ Dengan Air Panas
By:
rnppsalatiga
On: Senin, September 10, 2012
Apa hukumnya berwudhu’ dengan menggunakan air panas? Apakah sah berwudu dengan menggunakan air panas atau apakah hukumnya?
Berwudhu’ dengan air panas tidaklah mengapa, namun jika terlalu panas hukumnya makruh kendati wudhu’nya tetap sah. Karena hal itu dapat merusak dan membakar kulit. Sejak dahulu permasalahan apakah air yang dipanaskan dapat mengangkat hadas memang terus diperselisihkan.
Namun yang benar dapat mengangkat hadas, bahkan menjadi kebutuhan utama di daerah-daerah dingin. Namun makruh hukumnya jika air itu dihangatkan dengan menggunakan bahan bakar yang najis. Wallahu A’lam.
(Sumber Rujukan: Al-Lu’lu’ Al-Makin kumpulan fatwa Syaikh Bin Jibriin hal 78)
8 Sep 2012
Adab Imam & Makmum dalam Shalat Berjama'ah
By:
rnppsalatiga
On: Sabtu, September 08, 2012
Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:

Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.[1]
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.[1]
Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa‘ Ar Rasyidinradhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam wafat.
Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
Akan tetapi –dalam hal ini– manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh–.
Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan.
Secara tidak langsung, –para imam seperti ini– menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]
Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.
Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
![]() |
Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
|
![]() |
Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
|
![]() |
Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallâhu'anhu.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
![]()
Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.[5] |
![]() |
Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu'anhu disebutkan:
![]()
Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka
lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya... [6] Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullâh:
”Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
Kebanyakan, kebencian yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allâh, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh.
(Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab atau karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]
Berkata Ahmad dan Ishaq:
”Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”[8]
|
Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama‘a maalaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.
Ketiga. Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.[10]
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu :

Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]
Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
”Adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.[13]
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.[13]
Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
“Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallâhu'anhu, ”Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam?’ Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
![]() | Membiarkan celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allâh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allâh akan memutus (urusan)nya.”[17]. |
![]() | Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah. |
![]() |
Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
![]() |
Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :

Hendaklah yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]
Keenam: Membuat sutrah (pembatas)[21] ketika hendak shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umarradhiyallâhu'anhu:

Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
”Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
”Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]
Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
Imam Ahmad berkata:
”Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]
Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.[26]
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.

[1] | HR Muslim no. 436. |
[2] | Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149. |
[3] | Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249. |
[4] | Ibid, halaman 1/151. |
[5] | HR Muslim 2/133. Lihat Irwa‘ Ghalil 2/256-257. |
[6] | HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,”Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,”Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/336. |
[7] | Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338. |
[8] | Lihat Dha‘if Sunan Tirmizi, halaman 39. |
[9] | Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba‘iah (empat raka‘at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh. Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar. |
[10] | Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H. |
[11] | HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703. |
[12] | Shalatul Jama’ah, halaman 166-167. |
[13] | HR Muslim no. 436. |
[14] | Lihat Jami‘ Tirmidzi, 1/439; Muwaththa‘, 1/173 dan Al Umm, 1/233. |
[15] | HR Abu Ya‘la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31. |
[16] | HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207. |
[17] | HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495. |
[18] | HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih. |
[19] | Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211. |
[20] | HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572. |
[21] | Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83. |
[22] | HR Muslim no. 260 dan yang lain. |
[23] | Fathul Bari, 1/572. |
[24] | HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507. |
[25] | Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254. |
[26] | “Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159) |
(Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII)
Langganan:
Postingan (Atom)