Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

14 Sep 2015

Jenderal Besar Soedirman

By: rnppsalatiga On: Senin, September 14, 2015
  • Berbagi
















  • Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

    Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

    Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

    Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometre (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.


    Artikel diambil dari Wikipedia

    3 Mar 2014

    Stupa Borobudur Difungsikan sebagai Penanda Waktu

    By: rnppsalatiga On: Senin, Maret 03, 2014
  • Berbagi


  • Bagaimana Borobudur, candi Buddha terbesar di dunia itu, memiliki jejak astronomis?

    Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangun nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi.
    Kita dapat menilik aspek astronomi Borobudur misalnya melalui penelitian yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung.
    Penelitian tersebut menunjukkan, stupa utama pada candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).
    Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6.
    Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8 dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu.
    Menurut Ketua Tim Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang, jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa.
    Sebelum korelasi antara bayangan stupa utama dan stupa terawang diketahui, tim terlebih dahulu menentukan bayangan lurus stupa utama saat Matahari berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu Matahari terbit tepat di titik timur garis dan terbenam tepat di titik barat garis.
    Hasil ini menunjukkan posisi Borobudur sesuai arah mata angin. Arah utara-selatan menunjuk posisi kutub utara Bumi dan kutub selatan Bumi, bukan utara-selatan kutub magnet Bumi. Posisi itu ditentukan tanpa bantuan alat penentu posisi global (GPS).
    Dosen Astronomi ITB yang juga anggota Tim Arkeoastronomi Borobudur ITB, Ferry M Simatupang, mengatakan, sekitar tahun 800 M, saat Borobudur dibangun, nenek moyang bangsa Indonesia mampu menentukan arah utara-selatan benar menggunakan bayangan Matahari.
    Cara paling sederhana menentukan arah utara-selatan benar adalah menandai bayang-bayang gnomon pada lingkaran simetris. Jika bayang-bayang gnomon pada dua sisi lingkaran yang berseberangan dihubungkan, menunjukkan arah timur-barat benar. Garis yang tegak lurus dengan garis timur-barat benar adalah garis utara-selatan benar.
    “Fakta bayangan stupa utama Borobudur sebagai penanda awal musim dalam Pránatamangsa baru temuan awal, masih banyak penelitian lanjutan yang harus dilakukan,” katanya.
    Menurut Simatupang, tim meneliti hubungan bayangan stupa utama dengan stupa terawang dalam tiga dimensi. Hasil ini menajamkan garis awal musim yang sudah diperoleh dari citra dua dimensi. 
    Penelitian yang dimuat dalam prosiding 7th International Conference on Oriental Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010 ini juga berencana melihat apakah posisi stupa atau bayangan stupa memiliki hubungan dengan prediksi gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Konfigurasi situs megalitik umumnya memiliki kaitan dengan penentuan waktu, baik kalender maupun prediksi gerhana.
    Namun, penelitian ini tidak mudah. Penelitian arkaeoastronomi masih baru di Indonesia. Aspek astronomis dalam candi Buddha juga sangat jarang ditemukan. Ahli dan literatur yang ada pun terbatas. Kerja sama antara astronom dan arkeolog perlu dilakukan untuk lebih memperlancar penelitian.

    Pengetahuan astronomi
    Sejumlah relief di Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam penguasaan ilmu perbintangan. Hal itu, menurut Irma, salah satunya ditunjukkan dengan gambar perahu-perahu pelaut berbagai ukuran di dinding candi.
    borobudur,relief,indonesiaSelamat dari Ancaman Monster Laut. Salah satu panil relief Jataka di Borobudur menunjukkan para penumpang kapal yang diselamatkan oleh penyu laut jelmaan Bodhisattwa. Jataka merupakan kisah peristiwa dan perbuatan Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. (Mahandis Y.Thamrin)
    Gambar perahu itu menunjukkan mereka adalah bangsa pelaut. Untuk mampu mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan navigasi yang panduan utamanya bintang-bintang di langit.
    Salah satu bintang yang menjadi penunjuk arah adalah Bintang Polaris, yaitu bintang yang terletak tepat di atas kutub utara Bumi hingga disebut sebagai Bintang Utara.
    Polaris menjadi acuan arah utara bangsa-bangsa di belahan Bumi utara. Nama bintang ini banyak disebut dalam sejumlah manuskrip umat Buddha.
    Sebelum tahun 800, Polaris dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur. Bintang terang ini mudah diamati karena hanya bergerak di sekitar ufuk langit. Namun, sejak tahun 800 hingga kini, posisi Polaris semakin di bawah horison akibat gerak presesi (gerak Bumi pada sumbunya sambil beredar mengelilingi Matahari), sehingga Bintang Utara tidak mungkin lagi dilihat dari Nusantara.
    Karena Polaris tak bisa diamati, pelaut mencari bintang penanda utara lain, yaitu rasi Ursa Mayor (Beruang Besar). Jika dua bintang paling terang dalam rasi ini, yaitu Dubhe dan Merak, ditarik garis lurus, akan mengarah ke Polaris. Hal ini membuat Ursa Mayor menjadi penanda arah utara lain.
    Pentingnya rasi Ursa Mayor bagi masyarakat saat itu ditunjukkan oleh gambar relief bulatan-bulatan kecil pada tingkat ke-4 Borobudur di sisi utara. Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan bulan sabit yang dipastikan simbol bulan.
    Dari Bumi, Ursa Mayor terlihat sebagai tujuh bintang terang. Nama Dubhe dan Merak berasal dari bahasa Arab. Dubhe dari frasa thahr al dubb al akbar (punggung beruang besar), sedangkan Merak dari kata al marakk yang artinya pinggang— karena posisi di pinggang beruang.
    Irma menambahkan, selain Ursa Mayor, tujuh bulatan itu diduga sebagai Pleiades (Tujuh Bidadari). Masyarakat Jawa mengenal kluster bintang terbuka ini sebagai Lintang Kartika. Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta krttikã yang menunjuk kluster bintang yang sama.
    Kluster (kumpulan) bintang ini populer di Jawa karena kemunculannya menjadi penanda dimulainya waktu tanam.
    Dugaan tujuh bulatan itu adalah Pleiades muncul karena hampir semua bangsa memiliki kesan mendalam dengan kluster bintang ini. Bangsa Jepang menyebutnya sebagai Subaru, sedangkan masyarakat Timur Tengah menamainya Thuraya.
    Namun, jika diamati dari Borobudur, posisi Tujuh Bidadari ini di dekat arah timur benar saat terbit dan di dekat arah barat benar saat terbenam. Posisi kluster ini tidak cocok dengan letak tujuh bulatan di dinding utara Borobudur.
    (Sumber: KOMPAS/M Zaid Wahyudi)

    16 Feb 2014

    Kisah Heroik Usman dan Harun

    By: rnppsalatiga On: Minggu, Februari 16, 2014
  • Berbagi
  • Tentara Nasional Indonesia menyematkan nama Usman dan Harun pada KRI baru mereka yang dibeli dari Inggris. Nama itu ditetapkan lewat diskusi panjang dan disahkan 12 Desember 2012.
    Usman bin H Ali Hasan dan Harun bin Said bukan orang sembarangan. Keduanya anggota Korps Komando Operasi (kini disebut Marinir) berpangkat Sersan Dua dan Kopral yang menjalankan misi rahasia, menyusup ke Singapura, meledakkan bom di jantung negeri itu. Saat itu Indonesia tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia, dan Singapura masih menjadi bagian negeri jiran.

    Usman dan Harun yang kemudian dihukum mati menjadi pahlawan bagi Indonesia. Namun bagi negeri Singa, keduanya tidak lebih dari teroris. Begitu mendengar keduanya akan dijadikan nama salah satu dari tiga kapal fregat Indonesia, Singapura langsung meradang. Lewat jalur resmi, Kementerian Luar Negeri Singapura melayangkan protes kepada Menlu Marty Natalegawa. Pemberian nama itu membuka kembali kenangan pahit di masa lampau.

    Singapura meminta Indonesia mempertimbangkan kembali keputusannya menggunakan nama Usman-Harun untuk kapal sepanjang 90 meter yang dijadwalkan tiba di perairan Indonesia pada Juni 2014 nanti.

    Usman, kelahiran Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, masih berumur 22 tahun, saat aksi heroiknya meledakkan bom di kandang musuh terjadi. Bahkan Harun yang lahir di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur baru menginjak usia 18 tahun ketika itu.

    Harun baru tiga bulan menjadi anggota KKO ketika Presiden RI pertama, Soekarno, menggelorakan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964. Dwikora digaungkan menyusul pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia pada 17 September 1963 setelah sehari sebelumnya Inggris membentuk negara federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei dan Sabah. Soekarno menganggap ini sebagai bentuk neokolonialisme dan dikhawatirkan mengganggu jalannya revolusi Indonesia.

    Bersama Usman dan Gani bin Arup, 10 Maret 1965 Harun mendapat tugas menyusup ke jantung Singapura yang hanya terpisah Selat Malaka. Mereka berhasil menembus pertahanan negeri itu. Target mereka adalah MacDonald House di Jalan Orchad Road. Gedung berlantai 10 ini merupakan kantor Hongkong and Shanghai Bank. Saat itu, hujan turun sangat deras dengan petir yang sambar menyambar. Mereka lalu meletakkan bom di dekat lift.

    Tujuh menit setelah layanan bank tutup, tepatnya pukul 15.07 waktu setempat, bom meledak, merobek pintu lift, dan menghancurkan salah satu dinding di gedung itu. Reruntuhan tembok menimpa 150 karyawan bank yang sedang menyelasaikan tugasnya. Meja, kursi dan mesin ketik terpental hingga ke jalan. Harian Singapura, The Strait Times melaporkan, tiga orang meninggal dunia dan 33 lainnya terluka. Puluhan mobil rusak berat. Kaca-kaca jendela gedung sepanjang Orchad Road dengan radius 100 meter hancur. Sebagian karyawan yang selamat awalnya penduga ledakan bom dan kilatan yang menyilaukan mata itu petir yang menghujam gedung.

    Usman dan Harun berhasil melarikan diri. Negeri Singa pun gempar.  Pasukan khusus kemudian disebar untuk mencari otak peledakan. Pasukan khusus Australia ikut membantu. Usman dan Harun tertangkap saat boat yang dikemudikannya kehabisan bahan bakar.
    Pengadilan Singapura yang menyidangkan kasus ini kemudian menjatuhkan hukuman mati untuk keduanya. Hukuman itu dilaksanakan tiga tahun setelah peristiwa peledakan bom di  penjara Changi pada 17 Oktober 1968. Harun berusia 21 tahun saat tali yang menjulur dari tiang gantungan melingkar di lehernya, dan Usman berumur 25 tahun. Sebelum eksekusi dilaksanakan, permintaan mereka: dimandikan di tanah air dengan air Indonesia.

    Atas jasa-jasanya kepada negara, Harun dan Usman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968. SK ini dikeluarkan bersamaan dengan pelaksanaan hukuman mati tersebut. Keduanya  lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.


    3 Feb 2014

    Sejarah Lahirnya Organisasi Republik Maluku Selatan (RMS)

    By: rnppsalatiga On: Senin, Februari 03, 2014
  • Berbagi
  • RMS lahir atas adanya krisis politik di Ambon. Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia. Adanya hal tersebut Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS yang anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan hijau asal Ambon ini. Kegiatan provokasi yang dilakukan oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel Schotborgh, Komandan tentara Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut Kapten Andi Azis melakukan aksi pemberontakan di Makassar.

    Ambon menjadi tegang dengan kembalinya pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang sebagian besar terkena disersi, giat melakukan konfrontasi dengan barisan PIM dari Pupella yang saling berlawanan. Konflik di Ambon pun tidak terhindar ketika pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian antara anggota-anggota PIM yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di dukung oleh pasukan-pasukan khusus ini.

    Pada 12 Maret 1950, kepala desa Asilusu, Ibrahim Tangko, anggota PIM, di datangi 10 orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya. Begitu pula pada 17 Maret, di desa yang sama, Awat Betawi, juga anggota PIM didatangi anggota-anggota polisi yang menyiksanya hingga pingsan. Yang tak kalah tragisnya adalah pada hari yang sama di desa Wakasihu, pimpinan PIM setempat, Ohorella, dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi. (Teu Lususina, Ambon ).

    RMS tidak di dukung oleh masyarakat:
    Pembentukan RMS sama sekali bukan aspirasi dari masyarakat Maluku Selatan. Sementara dibawah prakarsa PIM, pada umumnya para pimpinan politik, kepala- kepala desa, pemuka-pemuka agama baik Kristen maupun Islam, sepakat untuk menempatkan Maluku Selatan sebagai bagian dari RIS yang di bentuk pada 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan pada hari yang sama.

    Cetusan proklamasi RMS kurang mendapat sambutan, terutama di kalangan pelajar- pelajar dan kalangan ilmuan Ambon di luar Ambon, terutama di Jawa dan Sumatra karena memahami pandangan-pandangan nasionalisme.

    Pendukung RMS umumnya terdapat dikalangan militer KNIL asal Ambon . Hal ini menunjukkan bahwa yang melakukan cara-cara ILEGAL dan KRIMINAL INTERNASIONAL adalah pihak RMS yang jelas-jelas pembentukan negara tersebut tidak didukung mayoritas masyarakat Maluku.

    Pihak RMS telah menipu generasi muda Maluku dengan melakukan pemutar balikan fakta yang ada.

    Sumber:
    1. Kumpulansejarah.com
    2. Kumpulan Sejarah Islam (Histories of Islam) .

    Sejarah Provinsi Sumatera Utara

    By: rnppsalatiga On: Senin, Februari 03, 2014
  • Berbagi
  • Pada jaman pemerintahan Belanda, Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouvernement Van Sumatera yang meliputi seluruh Sumatera yang di kepalai oleh seorang Gubernur berkedudukan di Medan.

    Sumatera Utara terdiri dari daerah-daerah administratif yang dinamakan keresidenan. Pada Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) Provinsi Sumatera diputuskan untuk dibagi menjadi 3 sub Provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan sub Provinsi Sumatera Selatan.

    Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948 pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 Provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 selanjutnya ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara.

    Awal tahun 1949 diadakan reorganisasi pemerintahan di Sumatera. Dengan keputusan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Mei 1949 Nomor 22/Pem/PDRI jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan, selanjutnya dengan ketetapan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Desember 1949 dibentuk Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur yang kemudian dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan ini dicabut dan kembali dibentuk Provinsi Sumatera Utara.

    Tanggal 7 Desember 1956 diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan peraturan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang intinya Provinsi Sumatera Utara wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonomi Provinsi Aceh.

    Nilai Budaya:
    Susunan masyarakat Sumatera Utara adalah berdasarkan geneologis teritorial seperti Batak Toba, Mandailing dan Nias. Sedangkan suku Melayu berdasarkan teritorial.

    Bila ditinjau dari garis keturunan maka suku Batak dan Nias adalah patrilinial, sedang suku Melayu adalah parental (keturunan kedua belah pihak bapak dan ibu).

    Pada masyarakat suku Batak, Nias maupun Melayu ada upacara adat siklus kehidupan dari lahir, masa dewasa sampai kematian, seperti upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut, mengasah gigi, perkawinan dan upacara pemakaman jenazah.

    Di masyarakat Batak dikenal upacara memberi makan oleh anak kepada orang yang lanjut usia (sulang-sulang). Terdapat juga upacara penggalian/pemindahan tulang belulang kesuatu tempat atau tugu yang disebut (mangongkal holi).

    Setiap upacara-upacara adat masyarakat Batak selalu disertai dengan pemberian Ulos dan tarian (Manortor).

    Falsafah masyarakat Batak:
    Dalihan Natolu sebagai hukum adat Batak yang mempunyai arti tumpuan yang tiga yang dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

    Dalihan Natolu meliputi :
    - Dongan Sabutuha (saudara semarga).
    - Hula-hula (ipar, baik adik atau kakak laki-laki dari istri).
    - Boru (keluarga dari pihak laki-laki).

    Suku bangsa:
    Batak (41,95%), Jawa (32.62%) Nias (6.36%), Melayu (4,92%), Tionghoa (3,07%), Minangkabau (2,66%), Banjar (0.97%), Lain-lain (7,45%)

    Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Sumatera Utara, pada umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu. Pantai barat dari Barus hingga Natal, banyak bermukim orang Minangkabau. Wilayah tengah sekitar Danau Toba, banyak dihuni oleh Suku Batak yang sebagian besarnya beragama Kristen. Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Pusat penyebaran suku-suku di Sumatera Utara, sebagai berikut :
    1. Suku Melayu : Pesisir Timur, terutama di kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Langkat
    2. Suku Batak Karo : Kabupaten Karo
    3. Suku Batak Toba : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir
    4. Suku Batak Mandailing : Kabupaten Mandailing Natal
    5. Suku Batak Angkola : Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas
    6. Suku Batak Simalungun : Kabupaten Simalungun
    7. Suku Batak Pakpak : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat
    8. Suku Nias : Pulau Nias
    9. Suku Minangkabau : Kota Medan, Kabupaten Batubara, Pesisir barat
    10. Suku Aceh : Kota Medan
    11. Suku Jawa : Pesisir timur
    12. Suku Tionghoa : Perkotaan pesisir timur & barat.
    13.
    Bahasa:
    Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah Bahasa Indonesia. Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan Bahasa Indonesia karena kedekatannya dengan Bahasa Melayu yang menjadi bahasa ibu masyarakat Deli. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu dialek "o" begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di Kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu dialek "e" yang sering juga disebut bahasa Maya-maya. Mayarakat Jawa di daerah perkebunan, menuturkan Bahasa Jawa sebagai pengantar sehari-hari.
    Di kawasan perkotaan, orang Tionghoa lazim menuturkan Bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, masyarakat Batak menuturkan Bahasa Batak yang terbagi atas empat logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang di pesisir barat, seperti Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Mandailing Natal menggunakan Bahasa Minangkabau.

    Agama:
    Islam (66,09%),Kristen (Protestan/Katolik) (31%),Buddha (2,34%),Hindu (0,11%), dan sisanya lain-lain.

    Agama utama di Sumatera Utara adalah:
    • Islam: terutama dipeluk oleh suku Melayu, Pesisir, Minangkabau,Jawa, Aceh, suku Batak Mandailing, sebagian Batak Karo, Simalungun dan Pakpak
    • Kristen (Protestan dan Katolik): terutama dipeluk oleh suku Batak Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Mandailing dan Nias
    • Hindu: terutama dipeluk oleh suku Tamil di perkotaan
    • Buddha: terutama dipeluk oleh suku Peranakan di perkotaan
    • Konghucu : terutama dipeluk oleh suku Peranakan di perkotaan
    • Parmalim: dipeluk oleh sebagian suku Batak yang berpusat di Huta Tinggi
    • Animisme: masih ada dipeluk oleh suku Batak, yaitu Pelebegu Parhabonaron dan kepercayaan sejenisnya

    Sumber:kemendagri.go.id dan Wikipedia Indonesia dan KSI-Islam: Kumpulan Sejarah Islam (Histories of Islam) .

    31 Jan 2014

    “Palagan" Surabaya 28–30 Oktober 1945

    By: rnppsalatiga On: Jumat, Januari 31, 2014
  • Berbagi

  • Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November adalah untuk mengenang peristiwa heroik rakyat Surabaya melawan tentara Inggris. Namun perlu pula dikenang peristiwa yang mengawalinya. Pertempuran 28-30 Oktober 1945 merupakan "palagan" yang sebenarnya, di mana pasukan Indonesia memaksa Inggris mengibarkan bendera putih.

    Tentara Inggris mendarat di Surabaya untuk menegakkan ketertiban dan keamanan, membebaskan semua tawanan perang Sekutu, mengevakuasi interniran, melucuti, dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan yang dikirim ke Surabaya adalah Brigade ke-49, Divisi 23 India, di bawah komando Brigjen Mallaby. Kekuatannya 4.000 orang, terdiri dari batalyon Mahrattas dan Rajputana Rifles. Perwira-perwira komandannya campuran, Inggris dan India.

    Pemerintah RI di Jakarta, meminta pemerintah daerah, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan para pejuang di Surabaya menerima baik dan membantu kelancaran misi Inggris. Karena goodwill ini merupakan bagian dari langkah RI untuk mendapatkan pengakuan dari Sekutu, pemenang Perang Dunia II.

    Pimpinan tentara Inggris, dua kali bertemu dengan pimpinan pemerintahan dan tentara Indonesia di Surabaya. Pertama pada hari pendaratannya, 25 Oktober 1945 dan kedua, 26 Oktober. Pertemuan berlangsung dalam suasana bersahabat. Namun pihak Indonesia memperingatkan tidak boleh ada satu pun Belanda membonceng pasukan Sekutu ini. Inggris menjamin hal itu tidak akan terjadi. Kedua belah pihak sepakat bekerja sama menjaga ketentraman dan ketertiban. Dan agar kerja sama bisa berjalan baik, dibentuk Contact Committee.

    Provokatif:
    Mentaati niat baik pemerintah pusat, pimpinan perjuangan di Surabaya juga menunjukkan sikap yang luwes. Namun kelonggaran-kelonggaran yang diberikan itu dimanfaatkan Inggris untuk melebarkan dislokasi pasukannya sampai di luar kesepakatan bersama. Mereka antara lain memperkuat posisi di tempat- tempat strategis seperti lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik ANIEM, stasiun kereta api, kantor pos besar dan stasiun radio di Simpang.

    Sikap baik RI ini disalahgunakan pula oleh satuan intel brigade yang melakukan raid ke penjara Kalisosok, untuk membebaskan seorang kolonel angkatan laut Belanda (yang ditangkap pemuda saat menjalankan tugas untuk Sekutu) serta perwira-perwira dan staf RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoner of War and Internees) yang ditahan di situ. Inggris juga mengacau di Nyamplungan, menangkapi sejumlah pemuda dan Ketua BKR setempat, serta menyerobot kantor Polisi RI Bubutan dan penjara Bubutan.

    Kepercayaan terhadap Inggris serta merta berbalik curiga, ketika pada pagi 27 Oktober, sebuah pesawat Inggris menyebarkan pamflet yang isinya menuntut rakyat menyerahkan kepada Inggris semua senjata dan peralatan militer. Yang tidak mematuhinya akan dihukum mati. Seruan ini dikeluarkan oleh Panglima Divisi ke-23, Mayjen Hawthorn (bermarkas di Jakarta dan wewenangnya meliputi Jawa-Bali-Lombok). Pihak Indonesia mencurigai keras Inggris tengah membuka pintu untuk Belanda kembali ke sini.

    Pemimpin-pemimpin RI di Surabaya memperingatkan Mallaby bahwa leaflet Hawthorn dan perbuatan yang dilakukan pasukannya mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Para pemuda Surabaya bereaksi dengan meringkus serdadu-serdadu Inggris yang menduduki Nyamplungan dan Bubutan. Sejumlah prajurit Inggris dan India yang sedang pesiar di kota juga diculik dan dibunuh. Sebaliknya, tanggal 28 Oktober, Inggris melakukan perampasan senjata dan mobil-mobil pemuda.
    Sore harinya, pimpinan TKR memutuskan melakukan serangan umum terhadap semua posisi Inggris di Surabaya. Radio pemberontak berulang-ulang mengumandangkan panggilan pada rakyat untuk mengangkat senjata dan menyerang secara serentak kedudukan pasukan Inggris. Sore dan malam hari itu juga pecah pertempuran sporadis di berbagai tempat di kota.

    Inggris Terjepit:
    Pertempuran besar meletus pagi 29 Oktober. Serangan fajar TKR dibuka pukul 05.00. Tembakan pistol, senapan, senapan mesin berat dan ringan sampai mortir saling bersahutan. Asap membumbung di atas kota Surabaya. Para tawanan perang dan kaum interniran yang sudah bergembira menunggu pembebasan mereka, kembali ciut hatinya, karena terkurung di tempat-tempat penampungan yang sekitarnya telah menjadi ajang pertempuran yang sengit.

    Pasukan Inggris terjepit, bahkan seantero Brigade 49 ini terancam musnah. Kesalahan mereka adalah menganggap enteng perlawanan rakyat dan TKR, lalu menghadapinya dengan satuan-satuan kecil yang terpecah-pecah di berbagai tempat. Perbekalan pelurunya juga hanya untuk pertempuran garis pertama. Namun, begitu terdesak, mereka pun sulit mendatangkan bala bantuan, karena pasukan besar Inggris lainnya paling dekat berjarak 200 mil, yakni brigade yang berada di Semarang. Amunisi dan logistik tambahan yang didrop dari udara malah jatuh ke pihak RI.

    Salah satu pertempuran dramatis berlangsung selama lima jam di jembatan Wonokromo, sebelum akhirnya pasukan Inggris kehabisan peluru. Dua peleton yang kebanyakan orang India terisolir dan terkepung di situ. Mereka nyaris dihabisi oleh massa rakyat yang tidak tahu hukum perang. Sejumlah serdadu India berteriak-teriak "Muslim, muslim..!", memohon jangan dibunuh.

    Personel TKR sekuat tenaga mencegah pembantaian tersebut. Sisa-sisa pasukan Inggris-India itu dilarikan ke Tanjung Perak dengan truk TKR yang mengibarkan bendera putih. Kekalahan di Wonokromo ini membuat kekuatan Inggris terpotong dua. Satunya yang bertahan di kota dan lainnya di sekeliling markasnya di Tanjung Perak Kali Mas yang membelah kota menjadi saksi keganasan perang ini. Di sungai yang keruh itu mengambang mayat-mayat tentara asing tersebut, sebagian tanpa kepala atau anggota badan lainnya. Menurut sumber Inggris, korban di pihak mereka 200 orang tewas atau hilang, dan 80 luka-luka. Yang memilukan adalah nasib ratusan interniran yang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Konvoi truk yang mengangkut mereka dari kamp Darmo terjebak di daerah pertempuran, dan menjadi sasaran amukan laskar rakyat.

    Panglima Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI - Allied Forces Netherlands East Indies), Letjen Sir Philip Christison berusaha menyelamatkan pasukannya di Surabaya dengan meminta pemimpin RI di Jakarta turun tangan. Atas permintaan Christison, 29 Oktober petang Presiden Soekarno, terbang ke Surabaya, didampingi Wakil Presiden Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin. Pagi 30 Oktober, Bung Karno bersama Mayjen Hawthorn dan Brigadir Mallaby mengadakan perundingan damai dengan para pemimpin pejuang di Gubernuran Surabaya.

    Sumber: Dikutip dari "Menjadi TNI", buku biografi Himawan Soetanto.

    ----------------------------------------
      Disadur dari Postingan FB KSI