Orang
yang tidak memiliki ilmu tidaklah dianggap sebagai seorang ulama. Orang yang
seperti ini tidak akan memberi manfaat kepada manusia, baik dalam permasalahan
dakwah atau perkara-perkara dunia. Yang saya maksud di sini adalah manfaat yang
konkrit dan hasil yang nyata, walaupun terkadang orang yang tidak berilmu bisa
memberi manfaat kepada sebagian manusia dengan nasehat yang dia ketahui, atau
dengan suatu permasalahan yang dia hafal, atau dengan bantuan materi yang dia
berikan kepada orang lain. Akan tetapi manfaat yang konkrit akan muncul dari
kejujuran, keikhlasan, banyaknya ilmu, kemapanan ilmu serta kesabaran dari
seorang penuntut ilmu.
Ada suatu permasalahan yang penting, yaitu
tanggung jawab yang ada pada seorang penuntut ilmu dari sisi menyampaikan ilmu
dan mengajarkannya kepada manusia. Karena sesungguhnya para ulama adalah
pengganti dan pewaris para rasul. Kedudukan para rasul tidaklah tersamar lagi,
merekalah pembimbing dan pemberi petunjuk bagi umat. Mereka adalah pengantar
umat menuju kepada kebahagiaan dan keselamatan. Sehingga dalam hal ini, para
ulama menempati kedudukan para rasul dalam menyampaikan ilmu syar’i.
Kerasulan telah ditutup oleh Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga tugas yang tersisa saat ini adalah
menyampaikan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berdakwah,
menjelaskan dan menyebarkannya kepada manusia. Semua itu tidak ada yang lebih
pantas untuk melakukannya kecuali para ulama. Karena Allah subhanahu wata’ala
telah memberi mereka keahlian untuk berdakwah, membimbing umat dengan
perkataan, perbuatan dan perjalanan hidup mereka yang zhahir dan batin.
Oleh karena itu, kewajiban mereka sangatlah
besar. Dan mereka harus berhati-hati, karena umat berada dalam tanggungan
mereka. Selain itu umat juga sangat membutuhkan penyampaian dan penjelasan
ulama dengan berbagai sarananya.
Di zaman ini sarana-sarana untuk melakukan
dakwah sangatlah banyak. Di antaranya adalah media massa yang berbentuk bacaan,
maupun media audio/visual. Sarana-sarana tersebut mempunyai pengaruh yang besar
dalam menyesatkan manusia maupun memberikan petunjuk kepada mereka. Begitu pula
khutbah-khutbah di hari Jum’at, hari raya, acara-acara tertentu, seminar,
perayaan-perayaan apa saja (yang syar’i), terbitan-terbitan baik berupa buku
yang besar ataupun kecil. Sarana-sarana tersebut mempunyai pengaruh yang besar
terhadap dakwah. Alhamdullilah, sarana-sarana dakwah yang ada pada zaman ini
begitu mudah dan banyak.
Namun, yang menjadi musibah adalah lemahnya
semangat seorang penuntut ilmu serta berpaling dan lalainya dia dari menuntut
ilmu. Inilah musibah yang sangat besar. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Di alam semesta ini, tidak ada seorang pun
yang lebih baik ucapannya daripada mereka, terutama para rasul dan nabi,
kemudian para ulama yang setelah mereka. Setiap kali ilmu bertambah banyak, dan
rasa taqwa, takut serta ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala bertambah
sempurna, maka manfaat yang diperoleh akan bertambah banyak. Sehingga dakwahnya
kepada ajaran Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wasallam bertambah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Setiap kali rasa taqwa,
ilmu dan takut kepada Allah subhanahu wata’ala melemah atau sedikit, di sisi
lain dia diuji dengan kesibukan-kesibukan dan syahwat dunia maka akan sedikit
pula ilmu dan kebaikannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Allah subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa
misi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berdakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala dengan dilandasi ilmu. Dan Allah subhanahu wata’ala memerintahkan
beliau untuk menyampaikan hal tersebut kepada umatnya. “قُلْ ” yaitu katakanlah (wahai Rasul kepada manusia), هَذِهِ سَبِيْلِي (inilah jalan (agama) ku) yaitu
syariat dan jalan yang aku berada di atasnya, berupa ucapan atau perbuatan.
Itulah jalanku dan manhajku menuju kepada Allah subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu wajib
untuk berjalan di atas jalan yang telah ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam ini, yaitu dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan berlandaskan
ilmu. Itulah jalan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga jalan
orang-orang yang mengikutinya.
Sehingga
seorang hamba tidak akan menjadi pengikut Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang
sejati dan sempurna kecuali apabila dia menelusuri jalannya. Maka barangsiapa
yang berdakwah kepada Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berlandaskan
ilmu, berlepas diri dari syirik dan istiqamah di atas kebenaran, maka dia
adalah pengikut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu Allah
shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman setelahnya,
“Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
“Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Seorang
dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala lagi jujur dalam berdakwah,
dialah orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas
ilmu. Bukannya dengan kedustaan atau perkataan tentang Allah tanpa ilmu, Maha
tinggi Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Bersamaan dengan itu
dia mensifati Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sifat-sifat
kesempurnaan, mensucikan-Nya dari penyerupaan dengan makhluk, mentauhidkan-Nya,
ikhlas kepada-Nya dan berlepas diri dari syirik beserta pelakunya.
Seorang dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala wajib untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan beristiqamah di atas syariat-Nya. Di samping itu, dia mensucikan Allah subhanahu wata’ala dari menyerupakan-Nya dengan makhluk, mensifati-Nya dengan sifat yang ditetapkan oleh Dia sendiri atau oleh Rasul-Nya, mensucikan-Nya dari sifat-sifat kekurangan dan kelemahan, menetapkan Asma`ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi nan sempurna yang terdapat dalam Al Qur`an atau Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam Al Amin dalam bentuk penetapan yang layak bagi kemuliaan-Nya dengan tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk-Nya -pent) dan mensucikan-Nya tanpa ta’thil (meniadakan makna sifat Allah subhanahu wata’ala yang haq -pent).
Seorang dai yang mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala wajib untuk mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan beristiqamah di atas syariat-Nya. Di samping itu, dia mensucikan Allah subhanahu wata’ala dari menyerupakan-Nya dengan makhluk, mensifati-Nya dengan sifat yang ditetapkan oleh Dia sendiri atau oleh Rasul-Nya, mensucikan-Nya dari sifat-sifat kekurangan dan kelemahan, menetapkan Asma`ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi nan sempurna yang terdapat dalam Al Qur`an atau Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam Al Amin dalam bentuk penetapan yang layak bagi kemuliaan-Nya dengan tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk-Nya -pent) dan mensucikan-Nya tanpa ta’thil (meniadakan makna sifat Allah subhanahu wata’ala yang haq -pent).
Oleh karena itu, seorang hamba wajib
menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah subhanahu wata’ala dengan penetapan
yang sempurna tanpa tamtsil dan tasybih (menyerupakan sifat Allah subhanahu
wata’ala dengan sifat makhluk-Nya, pen), mensucikan semua sifat-sifat Allah
subhanahu wata’ala dari penyerupaan terhadap makhluk dengan pensucian yang
bersih dari ta’thil.
Selain itu, seorang hamba wajib menamai Allah
subhanahu wata’ala dengan Asma`ul Husna, mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang
mulia yang terdapat dalam Al Qur`an atau sunnah yang shahih tanpa tahrif,
ta’thil, takyif dan tamtsil, tanpa menambah dan mengurangi. Dengan demikian,
dia adalah seorang pengikut Rasul, bukan ahlu bid’ah. Dia telah berjalan di
atas manhaj lurus yang telah ditempuh oleh para rasul dan para pengikutnya
dengan baik, yang paling utama dari mereka adalah Nabi kita Muhammad subhanahu
wata’ala dan para shahabat beliau yang setelahnya. Kemudian orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, di mana pelopor mereka adalah para imam yang
terkenal setelah shahabat seperti Al Imam Malik bin Anas, Al Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i, Al Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Al Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Al Imam Al Auza’i, Al Imam Sufyan Ats-Tsauri, Al Imam
Ishaq bin Rahuyah, dan para ulama selain mereka yang berjalan di atas manhaj
yang lurus dalam hal menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu
wata’ala, serta mensucikan-Nya dari penyerupaan terhadap makhluk.(*)
Sumber: (Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, Asy
Syaikh Ibn Baaz, penerbit Al Husna Jogjakarta)
0 komentar:
Posting Komentar