Di dalam hadits Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ
، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ ، وإنَّ الرَّجُلَ لَيَصدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ
عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً . وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ ، وَإِنَّ
الفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتَبَ
عِنْدَ الله كَذَّاباً
“Sesungguhnya
ash shidq (kejujuran) itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
itu menunjukkan ke surga dan sesungguhnya seorang bermaksud untuk jujur
sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya
kedustaan itu menunjukkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu
menunjukkan kepada neraka. Sesungguhnya seorang itu bermaksud untuk berdusta
sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang suka berdusta.” (Muttafaq
‘alaih)
Di dalam hadits ini
terdapat perintah kepada kita untuk senantiasa berbuat ash
shidq. Ash shidq artinya sesuainya berita yang disampaikan dengan kenyataan yang
terjadi. Sebagai contoh, misalnya sekarang hari Ahad, lalu Anda ditanya hari
apa ini? Kalau Anda menjawab hari Ahad berarti anda telah berucap dengan shidq (jujur) karena memang
sesuai dengan kenyataan. Tapi bila Anda jawab hari Senin, maka ini disebut
dusta.
Di banyak ayat, Allah
subhanahu wata’ala mengabarkan kepada kita keutamaan Ash
shidq.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai
sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau
semua bersama-sama dengan para shiddiqin (orang-orang yang jujur perilakunya).” (At
Taubah: 119)
فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً
لَهُمْ
“Dan
andaikata mereka itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik
untuk mereka sendiri.”(Muhammad: 21)
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ
وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Dan
orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.” (Az Zumar: 33)
Macam-macam Sikap Shidq
Para ulama membagi ash
shidq menjadi dua:
1.
Shidq (jujur) dalam Ucapan
Yakni ketika seseorang ucapannya mencocoki apa yang ada di hatinya. Seperti orang yang mengatakan bahwa saya beriman dan memang di hatinya dia beriman maka dia pun telah jujur dalam ucapannya. Sebaliknya ketika dia mengucapkan bahwa dirinya beriman, tapi di hatinya justru kufur maka ini tidak lah disebut sebagai orang yang shadiq, orang yang jujur.
Dari sini kita ketahui bahwa orang-orang yang munafiq bukanlah orang-orang yang beriman, karena ucapan mereka menyelisihi apa yang ada di hati mereka.
Yakni ketika seseorang ucapannya mencocoki apa yang ada di hatinya. Seperti orang yang mengatakan bahwa saya beriman dan memang di hatinya dia beriman maka dia pun telah jujur dalam ucapannya. Sebaliknya ketika dia mengucapkan bahwa dirinya beriman, tapi di hatinya justru kufur maka ini tidak lah disebut sebagai orang yang shadiq, orang yang jujur.
Dari sini kita ketahui bahwa orang-orang yang munafiq bukanlah orang-orang yang beriman, karena ucapan mereka menyelisihi apa yang ada di hati mereka.
2.
Shidq (jujur) dalam Perbuatan
Yakni ketika perbuatan seseorang mencocoki apa yang ada di hatinya. Orang yang berbuat riya’ tidaklah disebut sebagai shadiq. Ini karena secara lahirnya mereka memang nampak sebagai seorang yang rajin beribadah kepada Allah, tapi di dalam batinnya tidaklah demikian. Ibadah yang mereka lakukan semata-mata agar dilihat oleh manusia.
Demikian juga para pelaku kebid’ahan. Mereka tidaklah disebut sebagai shadiq. Karena secara lahirnya mereka menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi batinnya tidaklah demikian.
Yakni ketika perbuatan seseorang mencocoki apa yang ada di hatinya. Orang yang berbuat riya’ tidaklah disebut sebagai shadiq. Ini karena secara lahirnya mereka memang nampak sebagai seorang yang rajin beribadah kepada Allah, tapi di dalam batinnya tidaklah demikian. Ibadah yang mereka lakukan semata-mata agar dilihat oleh manusia.
Demikian juga para pelaku kebid’ahan. Mereka tidaklah disebut sebagai shadiq. Karena secara lahirnya mereka menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi batinnya tidaklah demikian.
Pentingnya Ash shidq dalam Mua’amalah
Ash
shidq dalam muamalah adalah seorang senantiasa berucap
dan bersikap jujur ketika dia berhubungan dengan sesama manusia. Di dalam
keluarga, ketika bekerja, berhubungan sosial dengan yang lain seorang muslim
harus mengedepankan ash shidq agar dia memperoleh
kebaikan di dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ
، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ
“Sesungguhnya
kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu
menunjukkan kepada surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga mengatakan
bahwa
البَيِّعَانِ بالخِيَار مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإنْ صَدَقا
وَبيَّنَا بُوركَ لَهُمَا في بيعِهمَا ، وإنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بركَةُ
بَيعِهِما
“Dua
orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan (boleh meneruskan jual-belinya
atau membatalkannya) selama keduanya itu belum berpisah. Apabila keduanya itu
jujur dan menerangkan (kekurangan barang yang diperjualbelikan), maka diberi
berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu menyembunyikan
(kekurangan barang yang diperjualbelikan) dan sama-sama berdusta, maka
dileburlah keberkahan jual-beli keduanya itu.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Berdusta untuk Bercanda
Termasuk kedustaan
adalah apa yang dilakukan banyak orang di zaman kita, yakni berdusta dengan
maksud untuk melucu atau bercanda. Dia berdusta agar orang lain yang
mendengarnya tertawa. Perkara ini adalah perkara yang dilarang di dalam agama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ
لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah
orang yang berkata dusta agar orang-orang tertawa! Celakalah dia! Celakalah
dia!” (HR. Abu Daud no. 4990, dishahihkan
oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Dusta yang Diperbolehkan
Sebagaimana hadits
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas, seluruh kedustaan hukumnya
haram dan semuanya akan mengantarkan kepada perbuatan fujur (jahat).
Dikecualikan dari sini tiga perkara sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
Dikecualikan dari sini tiga perkara sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ
بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيراً ، أَوْ يقُولُ خَيْراً . وفي رواية مسلم زيادة ،
قَالَتْ : وَلَمْ أسْمَعْهُ يُرْخِّصُ في شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إلاَّ
في ثَلاثٍ ، تَعْنِي : الحَرْبَ ، وَالإِصْلاَحَ بَيْنَ النَّاسِ ، وَحَدِيثَ
الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ ، وَحَدِيثَ المَرْأةِ زَوْجَهَا
“Bukannya
termasuk pendusta orang yang mendamaikan antara para manusia, lalu ia
menyampaikan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang baik.”
Dalam riwayat Muslim
disebutkan tambahannya bahwa Ummu Kultsum berkata,
“Saya tidak pernah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu di dalam peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada istrinya serta perkataan istri kepada suaminya (perkataan yang dapat memperbaiki hubungan rumah tangga).”
“Saya tidak pernah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta dari ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu di dalam peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada istrinya serta perkataan istri kepada suaminya (perkataan yang dapat memperbaiki hubungan rumah tangga).”
Namun para ulama
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kedustaan di dalam hadits ini bukanlah
kedustaan murni, tapi kedustaan yang merupakan tauriyah.
Tauriyah adalah seseorang mengucapkan sesuatu yang menyelisihi niat di
hatinya. Ketika dia mengucapkan hal tersebut, si pendengar akan memahami
berbeda dengan apa yang diinginkan oleh orang yang berucap.
Contoh tauriyah adalah apa yang
dikisahkan di dalam Ash Shahih tentang ucapan Nabi
Ibrahim ‘alaihissalaam ketika istri beliau ingin diambil oleh raja yang zhalim.
Beliau mengatakan “Ini saudariku” agar raja tersebut tidak mengambil istri
beliau. Yang beliau maksud dengan saudari di sini adalah saudari fillah,
saudari seagama, namun yang akan dipahami oleh orang lain bahwa saudari di sini
adalah saudari kandung.
Demikian penjelasan
tentang beberapa perkara yang berkaitan dengan ash shidq (kejujuran), semoga bisa
bermanfaat dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan diri kita
sebagai orang-orang yang memiliki sifat ash shidq.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Referensi:
- Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
- Shahihul Adab wal Akhlaq, Iraqi Muhammad Hamid.
- Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
- Shahihul Adab wal Akhlaq, Iraqi Muhammad Hamid.
0 komentar:
Posting Komentar