Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang
hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang
teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.
Kunyah
dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir
pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal
dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya
lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3
tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke
kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik
hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Perjalanan
beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh
mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau
hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis.
Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian
pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu
kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada
para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota
Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1.
Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2.
Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal
banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3.
‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4.
Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu
Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada
tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada
para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian
pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus
menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau
belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin
Ma’in.
Yahya
bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk
mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari
Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika
sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf
di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun
mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin
Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan,
“Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah
mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan
kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita
mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad
berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan
hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah
niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a.
Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq
menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan
dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari
hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad
(‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti
beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan
dari Abdurrazaq.”
Al-Imam
Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya,
karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta
kebaikan akhlaknya.
Beliau
melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti
Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan
dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada
umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur
tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama
seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut
ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang
Imam, beliau tetap menuntut ilmu.
Guru-guru beliau
Beliau
menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin
Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’,
Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq,
Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats,
Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin
Dukain dan lain-lain.
Al-Imam
Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad
yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Murid-murid
beliau
Para
ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti
Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud,
An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah,
Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah
(putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan
yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan
hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab,
Al-Imam Asy-Syafi’i.
Al-Imam
Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya
bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang
terpercaya).
Demikian
pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan
dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.
Ahlak
dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan
beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai
sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku
mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik
agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan
ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian
bagaimana dia!”
Beliau
adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih,
paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut
kepalanya dan bulu tubuhnya.
Orang-orang
yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan
kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis
yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat
pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang.
Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau
sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam
perkara agama) beliau.
Yahya
bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami
bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan
dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau
juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah
manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang
yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan
kemasyhuran.”
Beliau
menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau:
“Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.”
Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau
adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah
menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam
sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat
pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat
sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah
mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan
untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak
berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan
shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat
lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai
waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa
Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam
bulan Hijriyah).
Dalam
riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7
Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun
dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.
Suatu
hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau
menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya,
beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah,
seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau
telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan
dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah
menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.
Ujian yang menimpa beliau
Beliau
menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu
Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara
kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua
beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di
masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan
kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan
umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya
beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau
tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus
mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan
yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya
ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi
mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai
akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala
bentuk penyiksaan tersebut.
Wafat beliau rahimahullah
Pada
Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit
yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia
pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau.
Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan
dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan
gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang
terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi
Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut
mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi,
Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.
Selamat
jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu
di tempat yang mulia di Jannah-Nya.