30 Agu 2012

Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 1)

By: rnppsalatiga On: Kamis, Agustus 30, 2012
  • Berbagi

  • Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 1)

    kisah nabi musa dan harun
    Di zaman dahulu, negeri Mesir dipimpin oleh raja yang zalim dan kejam dikenal dengan sebutan “Fir’aun,” ia memperbudak kaumnya dan menindas mereka, bersikap sewenang-wenang di bumi, dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka dan mempekerjakan mereka dengan kerja paksa. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

    Mereka yang tertindas ini adalah bani Israil; suatu kaum yang nasab mereka sampai kepada Nabi Israil atau Ya’qub ‘alaihissalam. Bani Israil menempati negeri Mesir ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjabat sebagai menterinya.
    Suatu ketika Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut[1].
    Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang masih kecil, mereka khawatir jika orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga mereka pergi mendatangi Fir’aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara umum dan membiarkan mereka secara umum.
    Harun lahir pada tahun ketika anak-anak tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir’aun datang. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman,
    “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al Qashash: 7)
    Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya, dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Musa diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat peti itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Musa menjadi kosong, hampir saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Musa adalah anaknya sendiri.
    Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.
    Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya dan berkata dengan penuh rasa kasihan, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak.” (QS. Al Qashash: 9).
    Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Musa memberikan manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk surga dengan sebabnya.
    Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai anak.
    Kembalinya Bayi Musa kepada Ibunya
    Setelah berlalu beberapa saat, sedang Asiyah menggendong bayi Musa dengan penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa menangis dengan sedihnya, hatinya kosong terhadap urusan dunia selain urusan Musa, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya, tetapi bayi Musa menolak semuanya. Hal ini membuat penghuni istana sibuk memikirkannya dan berita ini tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Musa mengetahui hal itu, ia pun pergi ke istana dan menemui Asiyah istri Fir’aun dan memberitahukan, bahwa ia mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini, maka Asiyah bergembira sekali dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke hadapannya.
    Saudari Musa pun pulang dan menemui ibunya yang sedang dalam keadaan menangis karena kehilangan anaknya, lalu saudari Musa memberitahukan hal yang terjadi antara dirinya dengan istri Fir’aun sehingga tenanglah ibu Nabi Musa dan lega hatinya.
    Ibu Nabi Musa pun pergi bersama putrinya ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu Nabi Musa segera menyodorkan teteknya, bayi Musa segera menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa untuk tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang perlu dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang tidak lain adalah ibu Nabi Musa sendiri.
    Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Musa dilahirkan dengan hati yang penuh kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana, demikian pula nafkah dan pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa dengan ibu dan ayahnya serta saudarinya. Saat Musa telah kembali ke istana Fir’aun, maka keluarga Musa telah mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa tumbuh seperti anak raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani dan berpendidikan.
    Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang menyusukan Musa.
    Musa di Masa Dewasa
    Demikianlah Nabi Musa ‘alaihissalam menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan pemberani. Maka pada suatu hari, Musa berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada dua orang yang bertikai, yang satu dari kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan yang satu lagi dari penduduk asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang Bani Israil meminta bantuan kepada Musa, kemudian Musa pun datang dan hendak mencegah orang Mesir itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan tangannya sehingga orang Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.
    Musa pun merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah untuk membunuhnya tetapi untuk membela orang yang terzalimi, maka Nabi Musa pun bersedih, bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya, (lihat QS. Al Qashash: 15-16).
    Akan tetapi, berita itu ternyata sudah tersebar luas di kota itu dan orang-orang Mesir mencari-cari siapa pembunuhnya untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat Nabi Musa berjalan di kota itu, ia pun menemukan orang Bani Israil yang pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang Mesir dan meminta bantuan lagi kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, namun Musa marah terhadap permintaannya itu, ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani Israil itu mengira bahwa Musa hendak mendatanginya untuk memukulnya karena marah kepadanya, ia pun berkata, “Wahai Musa! Apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?
    Mendengar kata-kata itu, maka orang-orang Mesir pun mengetahui bahwa yang membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi Musa ‘alaihissalam. Maka tentara Fir’aun mulai berpikir tentang hukuman yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang yang datang kepada Nabi Musa menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, maka Musa keluar darinya dalam keadaan takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim (lihat Al Qashash: 17-21).
    Musa Meninggalkan Mesir Menuju Madyan
    Nabi Musa pun pergi meninggalkan Mesir, namun ia tidak mengetahui ke mana ia harus pergi, ia berharap kepada Allah agar Dia mengarahkan ke tempat yang tepat, dan ia terus berjalan hingga sampai di sebuah kota bernama Madyan. Ketika tiba di kota Madyan, Nabi Musa mendatangi sebuah pohon yang berada di dekat sumur lalu duduk di bawahnya. Ia pun mendapati dua orang wanita yang membawa kambing-kambing gembalaannya, dimana keduanya berdiri jauh dari sumur menunggu orang-orang selesai mengambil air.
    Musa mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri jauh dari keramaian orang, maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak dapat memberi minum kambing-kambingnya melainkan  setelah orang-orang selesai memberi minum kambing-kambing mereka. Keduanya terpaksa melakukan demikian, karena orang tuanya sudah sangat tua; tidak sanggup melakukan pekerjaan ini, maka Nabi Musa pun maju lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh sepuluh orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing-kambing milik keduanya.
    Setelah itu, Musa kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk dapat beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar dan berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
    Ketika kedua wanita itu kembali kepada orang tuanya, keduanya menceritakan kejadian yang mereka alami, sehingga orang tua itu heran dengan orang asing yang kuat dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah seorang anaknya untuk mendatanginya dan mengundangnya menemui ayahnya untuk diberikan balasan.
    Lalu salah satu wanita itu mendatangi Musa dengan rasa malu dan memberitahukan tentang undangan ayahnya, maka Musa memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah wanita itu dengan berjalan di depan, sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil mengisyaratkan jalannya dengan melempar batu kecil.
    Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka ia bertanya kepada Musa tentang nama dan perihal yang terjadi pada dirinya, Musa pun menceritakan kejadiannya, lalu orang tua itu menenangkannya.
    Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar mengangkat Musa sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang kuat lagi amanah. Maka orang tua itu, menawarkan kepada Musa untuk menikahi salah satu putrinya itu dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan tahun atau sepuluh tahun jika Musa mau. Maka Nabi Musa setuju terhadap tawaran itu, dan menikah dengan salah satu dari wanita itu. Ia pun mulai menggembala kambing selama sepuluh tahun. Setelah itu, Musa ingin pulang menemui keluarganya di Mesir, lalu orang tua itu menyetujuinya dan memberinya bekal selama perjalanan pulangnya ke Mesir.
    Bersambung…
    Oleh: Marwan bin Musa
    Maraaji’:
    • Al Qur’anul Karim
    • Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
    • Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
    • Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
    • dll.

    [1] Ada pula yang berpendapat, bahwa yang mendorong Fir’aun melakukan tindakan keji ini adalah karena berita yang sampai kepadanya dari Bani Israil bahwa nanti akan muncul dari kalangan mereka seorang anak yang menjadi penyebab hancurnya kerajaan Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani Israil hingga tersebar di kalangan orang-orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke telinga Fir’aun, lihat Shahih Qashashil Anbiya’ hal. 254.

    29 Agu 2012

    Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia

    By: rnppsalatiga On: Rabu, Agustus 29, 2012
  • Berbagi

  • Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia


    Tak dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, dan ini semua karena berkat jasa nenek moyang dan para saudagar-saudagar muslim yang jauh dari negeri seberang. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat ulasan dan proses masuknya agama islam di Inonesia berikut ini:


        * Sekitar tahun 30 hijria dan berselang kurang lebih 20 tahun dari wafatnya Nabi Muhammad SAW, Ustman mengirim delegasi ke negeri China untuk berdakwah dan memperkenalkan agama islami
        * Di tengah pejalanan sang utusan sempat singah di suatu daerah yang ada di Indonesia, menurut sejarah daerah tersebut adalah Sumatera (tepatnya didaerah Aceh)
        * Sejak saat itulah mubaligh-mubaligh muslim singah, berbelanja, berdagang sekaligus berdakwah di Indonesia

    Faktor Apa Saja Yang Memperkuat Penyebaran Agama Islam Di Indonesia?

        * Marcopolo yang mengembar-gemborkan bahwa pada tahun 1292 M berdiri sebuah kerajaan islam pertama di Indonesia Yaitu Kerajaan Islam Samudra Pasai
        * Sekitar Abad ke 14, agama islam telah mempunyai kekuatan politik yang berarti d Indonesia (struktural) dan menyadarkan penduduk Indonesia bahwa agama islam adalah agama rahmatan lil almin.
        * Semakin banyaknya migrasi dari masyarakat timur tengah seperti imigran dari negara Persia, Arab Saudi, Yaman, Hadamarut.

    Beberapa Pendapat Tentang Awal Masuknya Islam di Indonesia.

       1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
             1. Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
             2. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
             3. Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
             4. Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
             5. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
             6. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnay berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
             7. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
             8. T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).

    2. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:

       1. Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik,yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)

    3. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:

       1. Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 M.
       2. K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
       3. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
       4. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan Indonesia.


    Maka dari itu dengan masuknya Agama Islam pada masyarakat dan semakin berkembang pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan di wilayah startegis Indonesia, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis.
    Tapi semua penyebaran ini mendapat banyak sekali hambatan dan cobaan salah satunya adalah penjajah yang berusaha menjauhkan masyarakat kita terhadap penduduk islam dunia. Dan Semenjak awal tibanya bangsa-bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi mereka melakukan banyak cara kotor dan licik untuk menjatuhkan perkembangan islam di Indonesia.
    Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada' Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

    Kisah Shahabat: Said bin Amir al-Jumahi Radhiyallahu ‘Anhu

    By: rnppsalatiga On: Rabu, Agustus 29, 2012
  • Berbagi

  • Kisah Shahabat: Said bin Amir al-Jumahi Radhiyallahu ‘Anhu

    “Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya diatas selain keduanya.”
    (Ahli Sejarah)
    Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang yang keluar ke daerah Tan’im di luar Makkah atas undangan para pemuka Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukum mati atas Khubaib bin Adi, salah seorang shahabat Muhammad setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.
    Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan lain-lainnya yang menyelenggarakan acara tersebut.
    Semua itu membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan Quraisy tersebut terikat dengan tambang, sementara tangan anak-anak, para pemuda dan kaum wanita mendorongnya ke pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin melampiaskan dendam kesumat terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Khubaib, membalas kematian orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan membunuh Khubaib.
    Manakala rombongan orang dalam jumlah besar dengan seorang tawanan mereka tersebut telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib. Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian bunuh?”
    Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.
    Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati niscaya aku akan memperbanyak lagi shalatku.”
    Kemudian Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?”[1]
    Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya, “Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”
    Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di langit.
    Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya Allah. balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai habis dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup dengan aman.”
    Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.
    Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah, mereka melupakan Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangnya peristiwa demi peristiwa besar yang mereka hadapi.
    Namun tidak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat pun.
    Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur, membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga, berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan suaranya di kedua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.
    peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said
    persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini.
    Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bakwa kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya sampai maut
    Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa iman yang
    terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan keajaiban-keajaiban. Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para shahabatnya adalah seorang nabi yang didukung oleh kekuatan dan pertolongan langit.
    Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak, mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang muslim.
    Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau dalam perang Khaibar dan peperangan lain sesudahnya.
    Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dipanggil menghadap keharibaan Rabbnya dalam keadaan ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhum. Said bin Amir hidup sebagai contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.
    Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenal kejujuran Said radhiyallahu ‘anhu, dan ketakwaannya, keduanya mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya.
    Said datang kepada Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu & di awal khilafahnya, dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertakwa kepada Allah dari manusia clan jangan takut kepada manusia dari Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-orang di mana Allah Ta’ala menyerahkan perkara mereka kepadamu dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu dan keluargamu, bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela.”
    Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Said?”
    Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang Allah Ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”
    Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya, Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, aku memohon kepadamu dengan nama Allah agar mencoret namaku.”
    Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”
    Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar bertanya kepadanya, “Aku akan menetapkan gaji untukmu.”
    Said menjawab, ‘Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin? Pemberian dari Baitul Maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.
    Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”
    Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.
    Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?” Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
    Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”
    Mereka menjawab, “Benar, di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”
    Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudian dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”
    Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.
    Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukminin wafat?”
    Said menjawab, “Lebih besar dari itu.” Istrinya bertanya, ‘Apa yang lebih besar?”
    Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuah fitnah telah menerpa rumahku.”
    Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya.” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.
    Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?” Istrinya menjawab, “Ya.”
    Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantongkantong dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin yang miskin.
    Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para Gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah. ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”
    Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.
    Umar berkata. “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Said sebagai gurbernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian”"
    Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika slang sudah naik.”
    Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”
    Said diam sesaat kemudian berkata. “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka. kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka. kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”
    Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”
    Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.” Aku bertanya kepada Said, “Apa jawabanmu wahai Said?”
    Said berkata, “Demi Allah. aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah
    Aku bertanya. “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
    Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami satu hari dalam sebulan.”
    Aku bertanya, “Apa ini wahai Said?”
    Said menjawab, “Aku tidak mempunyai pelayan wahai Amirul Mukminin, aku pun tidak memiliki pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore hari.”
    Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
    Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”
    Aku bertanya, “Apa ini wahai Said?”
    Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini? Lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”
    Saat itu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Segala puji bagi Allah yang membenarkan dugaanku kepadamu.”
    Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya.
    Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”
    Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu?” Istrinya balik bertanya. ‘Apa itu?”
    Said berkata. “Kita memberikannya kepada siapa yang membawanya kepada kita, kita lebih memerlukan hal itu.”
    Istrinya bertanya. ‘Apa maksudmu?”
    Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang baik.”
    Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
    Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong. lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”
    Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk orangorang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.’
    Sumber: Buku ”Mereka Adalah Para Shahabat, Dr.Abdurrahman Ra’fat Basya, Penerbit at-Tibyan, Hal.13-18