2 Apr 2013
1 Apr 2013
Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah
By:
rnppsalatiga
On: Senin, April 01, 2013
Nama sebenarnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah
Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian
ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah
madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin
Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah
tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu
dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan
Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.
Pertumbuhan dan Thalabul Ilminya
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena
beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi
al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’
kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar
Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar
dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni
Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin
al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin
Muhammad al-Harraniy.
Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui
teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya
tentang madzhab-madzhab Salaf.
Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah
secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya
Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal
masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata
ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh
kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya,
sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan
pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan
cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak
berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor
onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.
Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya
secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah
besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali
kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa
yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang
berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang
pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang
diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan
dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad
sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya
khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke
dalam fiqrah Islamiyah.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk
mencari ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu
mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada
bandingnya, pemahamannya terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan
pengetahuannya mengenai Hadits, makna hadits, pemahaman serta
Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau
rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara
kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab
as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya
yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam asy-syarifah.
Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip)
ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan
petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para
shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama
terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang
logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti
sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di
dunia maupun di akhirat.
Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri
dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun
demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus
banyak berdo’a.
Sasarannya
Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih
ini adalah hadaf yang agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad
ke-tujuh Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-orang
dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad ketiga Hijriyah
ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam, ketika panji-panji
Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika berbagai bangsa telah
banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman, tetapi sebahagiannya lagi
terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan dendam kesumat dan bertujuan
menghancurkan (dari dalam pent.) dinul Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam
ini sengaja melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits
Nabawiyah Syarif dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.
Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil,
tahrif, serta pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan,
bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.
Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul
Fiqhi serta para ulama yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk
bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum
pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap
ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah wa
sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pengamalan dari
Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu, agar kamu
menerangkan kepada Umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
(an-Nahl:44).
Juga firman Allah Ta’ala, “Dan apa-apa yang
dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
Murid-Muridnya
Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan
dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena
itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang
menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid
beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya,
di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya
yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab
al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali
al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi,
Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy,
Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy
asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu
ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.
Aqidah Dan Manhajnya
Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa
ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak
membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul
Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara
pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau mempergunakan
teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan,
“Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas
dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan
kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya.
Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari
ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala
lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka
barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti
akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat
ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan
(pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang
mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat Ibnul
Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan sejauh-jauhnya dan
menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah
ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak
terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli
Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan
agama.
Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak
kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan
sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan
dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah,
Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu) melihat
bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.” (Saba’:6).
Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang
diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan
bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab
Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan
mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan
madzhab-madzhab yang masyhur.
Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul
Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita
memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat
terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab
Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan
berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam berbagai
persoalan lainnya.
Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan
membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq
di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah
al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan
ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala
sedang berargumentasi.
Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah
da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih
ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu
peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.
Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau
berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas,
Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih
al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang
telah diakui baik).
Ujian Yang Dihadapi
Adalah wajar jika orang ‘Alim ini, seorang yang
berada di luar garis taqlid turun temurun dan menjadi penentang segenap bid’ah
yang telah mengakar, mengalami tantangan seperti banyak dihadapi oleh
orang-orang semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang terhadap
pendapat-pendapat barunya.
Orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu: Kubu
yang fanatik kepadanya dan kubu lainnya kontra. Oleh karena itu, beliau
rahimahullah menghadapi berbagai jenis siksaan. Beliau seringkali mengalami
gangguan. Pernah dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara
terpisah-pisah di penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah
wafat.
Hal itu disebabkan karena beliau menentang
adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Akibatnya
beliau disekap, dihinakan dan diarak berkeliling di atas seekor onta sambil
didera dengan cambuk.
Pada saat di penjara, beliau menyibukkan diri dengan
membaca al-Qur’an, tadabbur dan tafakkur. Sebagai hasilnya, Allah membukakan
banyak kebaikan dan ilmu pengetahuan baginya. Di samping ujian di atas, ada
pula tantangan yang dihadapi dari para qadhi karena beliau berfatwa tentang
bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan tanpa taruhan. Sungguhpun demikian
Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten (teguh) menghadapi semua tantangan
itu dan akhirnya menang. Hal demikian disebabkan karena kekuatan iman, tekad
serta kesabaran beliau. Semoga Allah melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya
dan mengampuni kedua orang tuanya serta segenap kaum muslimin.
Pujian Ulama Terhadapnya
Sungguh Ibnul Qayyim rahimahullah teramat
mendapatkan kasih sayang dari guru-guru maupun muridnya. Beliau adalah orang
yang teramat dekat dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta pada
kebaikan dan senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan
mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian bagi beliau.
Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan, kewara’an, ketinggian
martabat serta keluasan wawasannya.
Ibnu Hajar pernah berkata mengenai pribadi
beliau, “Dia adalah seorang yang berjiwa pemberani, luas pengetahuannya, faham
akan perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”
Di sisi lain, Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau
seorang yang bacaan Al-Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak kasih sayangnya,
tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang
sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para
sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak
bergeming.”
Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah
lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlaq shalihah. Jika telah usai shalat
Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untuk dzikrullah hingga
sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara
rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan
runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa
beban, maka akan didapat kedudukan imamah dalam hal din (agama).’”
Ibnu Rajab pernah menukil dari adz-Dzahabi dalam
kitabnya al-Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau mendalami masalah
hadits dan matan-matannya serta melakukan penelitian terhadap rijalul hadits
(para perawi hadits). Beliau juga sibuk mendalami masalah fiqih dengan
ketetapan-ketetapannya yang baik, mendalami nahwu dan masalah-masalah Ushul.”
Tsaqafahnya
Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang
peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu
dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri
Syam dan Mesir.
Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih,
kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah
tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu, keseluruhan
kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul
Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.
Karya-Karyanya
Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan
kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin
agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi
pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Buku-buku karangannya banyak sekali,
baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak
hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab
salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai
sepersepuluhnya. Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab
itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak
kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan
Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus
mengandung kedalaman pemikirannya dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.
Karyanya
1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.
Wafatnya
Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751
H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’
Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Rahimahullah
By:
rnppsalatiga
On: Senin, April 01, 2013
Nama dan Nasabnya
Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmadbin
Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al
‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri.Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan
gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada
‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.Kelahirannya
Beliau lahir di Mesir
pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau
tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau
masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak
berumur empat tahun. Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim
untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin
al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri.
Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar
Perjalanan hidup al
Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki
semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman
Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika
genap berusia sembilan tahun.
Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau
menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, seperti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir,
Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab. Semangat dalam menggali ilmu, beliau
tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau
melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba
ilmu.
Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan
tinggal disana, di antaranya:
1. Dua tanah haram, yaitu
Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih
di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau
mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits)
‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu
Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
2. Dimasyq (Damaskus). Di
negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu
‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al
Bulqini.
3. Baitul Maqdis, dan
banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah.
Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil
manfaat.
4. Shana’ dan beberapa kota
di Yaman dan menimba ilmu dari mereka. Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh
untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar.
Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al
Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang
masyhur.
Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi
(an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin
Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul
Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan
beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa.
Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806
H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh,
mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling
pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau
ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah
Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya.Tercatat juga al Hummam al
Khawarizmi Rahimahullah.
Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh
belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al
Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’
(tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi
Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai
cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits. Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani
mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan
rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana
kebiasaan para ahli hadits.
Layaknya sebagai seorang
‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga didatangi para thalibul ‘ilmi (para
penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari
beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari
berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam
ash-Shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar
ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H),
Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd
al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karya-Karyanya
Kepakaran al Hafizh Ibnu
Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus
berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di
dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada
orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan
tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling
memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai
sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya
beliau Rahimahullah. Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul
Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah
fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq,
Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.
Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam
asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti
pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan
dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).
Mengemban Tugas Sebagai Hakim
Beliau terkenal memiliki
sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak
beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga
dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan
memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian,
serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda.
Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya
beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.
Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama
Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu
beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian,
Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus
kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani
Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya.
Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk
memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau
menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak
mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga
suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran.
Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus
bertolak-ansur dengan banyak pihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan
keadilan.
Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8
Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri. Pada tahun ini pula,
Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai
hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi
beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab.
Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau.
Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada
beliau pada tahun 833 H. Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut.
Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini
berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan,
fanatisme dan hawa nafsu.
Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau
mencapai 21 tahun semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang
jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.
Selain kehakiman, beliau juga memilki
tugas-tugas:
§ Berkhutbah di Masjid
Jami’ al Azhar.
§ Berkhutbah di Masjid
Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.
§ Jabatan memberi fatwa di
Gedung Pengadilan.
Di tengah-tengah mengembang tugasnya, beliau
tetap tekun di dalam samudera ilmu, seperti mengkaji dan meneliti
hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab,
mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan
dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama
dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.
Kedudukannya
Ibnu Hajar Rahimahullah
menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama,
salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang
beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.
Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari,
cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena
kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam.
Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.
Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah
merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al
‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli
bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah,
tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah.
Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka
warisi itu adalah dua hal:
Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya,
padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau
tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,).
Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran,
padahal tidak.
Wafatnya
Ibnu Hajar wafat pada
tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji
di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan
mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.
Langganan:
Postingan (Atom)