8 Sep 2012

Adab Imam & Makmum dalam Shalat Berjama'ah

By: rnppsalatiga On: Sabtu, September 08, 2012
  • Berbagi

  • Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
    hadits
    Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
    atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.
    [1]

    Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
    Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa‘ Ar Rasyidinradhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam wafat.
    Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
    Akan tetapi –dalam hal ini– manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh–.
    Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan.
    Secara tidak langsung, –para imam seperti ini– menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
    Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]
    Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.

    Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
    Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
    Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
    Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
    Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallâhu'anhu.
    Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
    hadits
    Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
    ialah yang paling pandai membaca Kitabullah.
    Jika mereka dalam bacaan sama,
    maka yang lebih mengetahui tentang sunnah.
    Jika mereka dalam sunnah sama,
    maka yang lebih dahulu hijrah.
    Jika mereka dalam hijrah sama,
    maka yang lebih dahulu masuk Islam
    (dalam riwayat lain: umur).
    Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain
    di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya).
    Dan janganlah duduk di tempat duduknya,
    kecuali seizinnya.
    [5]

    Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu'anhu disebutkan:
    hadits
    Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka
    lebih satu jengkal dari kepala mereka:
    (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum
    yang membencinya... 
    [6]

    Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullâh:
    ”Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
    Kebanyakan, kebencian yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allâh, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh.
    (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab atau karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]
    Berkata Ahmad dan Ishaq:
    ”Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”[8]

    Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
    Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama‘a maalaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.

    Ketiga. Mentakhfif shalat.
    Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.[10]
    Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu :
    hadits
    Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
    maka hendaklah (dia) mentakhfif,
    karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
    (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.
    [11]

    Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
    Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]

    Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
    Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
    ”Adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
    hadits
    Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
    atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.
    [13]

    Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
    Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
    Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
    “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]
    Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallâhu'anhu, ”Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam?’ Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
    Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
    ”Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
    Membiarkan celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allâh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allâh akan memutus (urusan)nya.”[17].
    Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
    Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
    hadits
    Sesungguhnya Allâh dan MalaikatNya mendo’akan
    orang yang menyambung shaf.
    [18][19]

    Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
    Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
    hadits
    Hendaklah yang mengiringiku
    orang-orang yang telah baligh dan berakal,
    kemudian orang-orang setelah mereka,
    kemudian orang-orang setelah mereka,
    dan janganlah kalian berselisih,
    niscaya berselisih juga hati kalian,
    dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.
    [20]

    Keenam: Membuat sutrah (pembatas)[21] ketika hendak shalat.
    Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umarradhiyallâhu'anhu:
    hadits
    Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
    Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
    Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
    sesungguhnya bersamanya jin.
    [22]

    Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
    Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
    ”Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
    Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
    ”Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]

    Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
    Imam Ahmad berkata:
    ”Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]
    Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.[26]
    Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.
    [1]HR Muslim no. 436.
    [2]Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
    [3]Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.
    [4]Ibid, halaman 1/151.
    [5]HR Muslim 2/133. Lihat Irwa‘ Ghalil 2/256-257.
    [6]HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,”Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,”Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
    [7]Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
    [8]Lihat Dha‘if Sunan Tirmizi, halaman 39.
    [9]Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba‘iah (empat raka‘at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh.
    Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
    [10]Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
    [11]HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
    [12]Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
    [13]HR Muslim no. 436.
    [14]Lihat Jami‘ Tirmidzi, 1/439; Muwaththa‘, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
    [15]HR Abu Ya‘la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
    [16]HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
    [17]HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
    [18]HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
    [19]Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
    [20]HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
    [21]Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
    [22]HR Muslim no. 260 dan yang lain.
    [23]Fathul Bari, 1/572.
    [24]HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
    [25]Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254.
    [26]“Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159)

    (Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII)

    Mencari Cermin yang Pudar (bag. 2- Selesai)

    By: rnppsalatiga On: Sabtu, September 08, 2012
  • Berbagi

  • Pandangannya yang Visioner

    Kredibilitas ilmu yang didapatnya membuatnya selalu mengingat akhirat, dan kiranya itulah salah satu tanda-tanda ilmu yang bermanfaat, di mana pemiliknya akan selalu mendekatkan diri kepada sang Khaliq.

    Suwaid bin Said berkata, bahwa aku melihat Abdullah bin al-Mubarak di Kota Mekah, dia mendatangi sumur Zam-zam dan dia pun mengambil segelas air, kemudian ia mengahadap ke Ka’bah dan berkata,
    >اللَّهُمَّ إِنَّ ابْنَ أَبِي المَوَّالِ حَدَّثَنَا، عَنْ مُحَمَّدِ بنِ المُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرٍ: عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّهُ قَالَ: (مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ) وَهَذَا أَشرَبُهُ لِعَطَشِ القِيَامَةِ، ثُمَّ شَرِبَهُ
    “Ya Allah, sesungguhnya Ibnu Abil Mawal (yakni Ibnul Mu-ammal) meriwayatkan kepada kami, dia berkata bahwa Muhammad bin Munkadir meriwayatkan kepada kami, dari Jabir dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia bersabda:
    Air Zam-Zam itu sesuai dengan niat meminumnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani, al-Irwa’ no: 1123) dan sesungguhnya aku meminumnya untuk kehausan di hari ،Kiamat”, kemudian ia meminumnya.
    Subhanallah, renungkanlah dikala orang-orang meneguk air zam-zam dengan niat kesehatan dan kesembuhan, Ibnul Mubarak meminumnya demi untuk menghilangkan kehausannya kelak di hari kiamat, yang ia yakin akan mengahadapinya, di mana semua orang keluar dari kuburnya dalam keadaan haus, berkumpul di padang Mahsyar, semoga Allah Ta’ala mengabulkan permohonannya.

    Hartawan yang Dermawan

    Ibnul Mubarak telah mewarisi harta yang banyak dari orang tuanya, kemudian mengembangkannya dalam perniagaan sehingga ia menjadi konglomerat yang hebat,  disebutkan bahwa modal perniagaannya adalah 400 ribu Dirham. Harga seekor kambing pada masa itu sekitar 5 dirham, hitunglah berapa kekayaaan yang ia warisi dari ayahnya???
    Harta kekayaannya dibelanjakan untuk menuntut ilmu, menyantuni ulama, membatu fakir miskin dan berperang di jalan Allah, ia berniaga bukan untuk memperkaya diri, ia pernah berkata kepada Fudhail bin ‘Iyadh, “Andaikata bukan karena kamu dan teman-temanmu (maksudnya adalah para ulama) niscaya aku tidak akan berniaga”.
    Salah seorang ulama yang datang setelah Ibnul Mubarak bertanya kepada Isa bin Yunus yang hidup semasa dengan Abdullah bin al-Mubarak, apakah yang menjadikan Ibnul Mubarak lebih utama daripada kalian, padahal dia tidaklah lebih tua umurnya dari kalian, maka Isa bin Yunus berkata: “Hal itu dikarenakan kalau dia datang bersama budak-budaknya dari Khurasan membawa pakaian-pakaian yang baik-baik, ia menyambung tali persaudaran dengan para ulama dengan barang-barang tersebut, berbagi dengan mereka, sedangkan kami tidak mampu berbuat itu”.
    Subahanallah, hal ini menunjukkan betapa mulianya niat ia berniaga dan berdagang, yakni  untuk mengangkat derajat para ulama agar mereka tidak dimanfaatkan oleh para penguasa dan orang-orang berduit. Menanggapi hal ini, Abbas ad-Dauri berkata “Tidaklah aku melihat seorang yang mengajarkan hadis lillahii Ta’ala kecuali 6 orang, di antaranya adalah Abdullah bin al-Mubarak.

    Menengok Derma Ia

    Al-Imam adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Ibnul Mubarak membantu kaum fakir miskin dalam setahun dengan uang sejumlah 100 ribu Dirham.
    Harga 1 ekor kambing pada masa itu hanyalah 5 Dirham, bisa dibayangkan kalau harga kambing itu 1 juta, maka ia telah bersedekah kepada fakir miskin sebanyak 20 milyar rupiah dalam setahun, suatu jumlah yang fantastis, dari seorang ulama, belum lagi bantuan yang ia berikan kepada yang lainnya.
    Bisa dibayangkan 20 milyar berderma dalam setahun.

    Kisah Kedermawanannya:

    Muhammad bin Ali bin Hasan bin Syaqiq berkata, Aku mendengar ayahku berkata: “Konon Ibnul Mubarak apabila musim Haji, beberapa saudaranya (seiman) dari penduduk Merv berkumpul kepadanya, mereka berkata, “Kami ingin berhaji bersamamu”, ia menjawab; “Kalau begitu, kumpulkanlah biaya haji kalian kepadaku”.
    Setelah itu, Abdullah mengambil bekal mereka dan meletakkan di dalam sebuah peti dan menguncinya. Kemudian ia menyewakan kendaraan untuk mereka agar bisa pergi menuju Baghdad dari Merv. Ia terus memberikan nafkah dan melayani mereka dengan makanan yang enak-enak dan berbagai macam kue, kemudian mempersiapkan mereka untuk pergi dari Baghdad dengan pakaian yang indah dan rapi menuju kota Madinah an-Nabawiah. Sesampainya di sana ia berkata kepada setiap orang dari rombongannya,
    ‘keluarga kalian berpesan apa dari Madinah?’
    Mereka berkata ini dan itu, maka  ia pun berbelanja memenuhi keinginan mereka, kemudian berangkat ke kota Mekah. Sesampainya di sana, ia berkata kepada mereka semua tentang pesanan keluargarnya yang harus dibeli di Mekah, dan lagi-lagi ia berbelanja untuk mereka, kemudian ia tetap memberikan nafkah kepada mereka sampai kembali ke kampung halaman di Merv.
    Tidak cukup disitu, Abdullah bin al-Mubarak merenovasi rumah-rumah mereka. Setelah tiga hari dari kedatangan, ia membuat walimah (syukuran ed.) mengundang rombongannya ini dan memberikan pakaian kepada mereka. Apabila mereka telah usai makan dan minum, Ibnul Mubarak meminta peti tempat menyimpan nafkah mereka, ia membukanya kemudian mengembalikan barang titipan tersebut kepada setiap orang yang memilikinya, di mana setiap kantong uang telah tertulis nama pemiliknya”.
    Subnallah betapa mulia dan dermawannya Abdullah bin al-Mubarak, sangat sulit kita mendapati orang seperti ini, walaupun alhamdulillah kebaikan masih banyak, dan kita melihat beberapa konglomerat yang memberangkatkan pegawai-pegawainya untuk berhaji atau berumrah, semoga Allah membimbing mereka kepada jalan keikhlasan.

    Kisah Lain Tentang Kedermawanannya:

    Di antara kisah kedermawanan Abdulllah bin al-Mubarak, adalah sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Isa. Ia berkata, bahwa Ibnul Mubarak sering pergi bolak-balik ke kota Thursus. Biasanya, ia tinggal di Roqqah (sebuah kota di Syiria), di daerah Khan pemukiman para saudagar, di sana ada seorang pemuda yang biasanya datang untuk membantu memenuhi kebutuhannya dan mendengarkan hadis darinya.
    Pada suatu saat Abdullah bin al-Mubarak datang ke sana dan tidak menjumpai pemuda itu, maka ia pun keluar terburu-buru mengikuti rombongan untuk Jihad. Tatkala kembali dari medan perang ia bertanya tentang pemuda tersebut, ia mendapat info bahwa pemuda itu dipenjara karena tanggungan utang sebesar 10 ribu Dirham(Sebagai perbandingan: harga seekor kambing pada masa itu adalah 5 Dirham) . Lalu Abdullah mencari tahu tentang orang yang dihutangi itu, dan ia pun melunasi utang pemuda itu, ia meminta agar orang tersebut tidak memberitahukan kepada satu orang pun tentang apa yang diperbuatnya selama dia masih hidup.
    Pemuda itu pun dikeluarkan dari penjara, dan Abdulllah Ibnul Mubarak telah pergi meninggalkan Raqqah di malam hari, setelah berjalan beberapa saat, ternyata pemuda itu mengejarnya dan menjumpainya, maka Ibnul Mubarak berkata kepadanya:
    Wahai pemuda kemana saja kamu tidak kelihatan?,
    ‘Wahai Abu Abdirrahman, aku dipenjara karena beban utang’,
    Ibnul Mubarak kembali bertanya: Bagaimana kamu bisa bebas?
    Pemuda itu menjawab, “Ada seorang lelaki yang melunasi hutangku, dan aku pun tidak mengenalnya’.
    Abdullah berkata kepadanya; “Pujilah Allah” dan pemuda itu tidak mengetahui siapakah yang sebenarnya telah melunasi utangnya.
    Betapa gigihnya usahanya dalam rangka menjaga keikhlasan sampa ia sembunyikan amal baiknya itu. Hal ini mengingatkan kita pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tujuh golongan yang kelak akan mendapatkan naungan di hari kiamat, pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah ‘Azza wa Jalla. Salah satunya adalah seorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahnya oleh tangan kanannya. Semoga Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi mendapatkan apa yang ia inginkan.
    Abdullah bin al-Mubarak telah dapat menselaraskan antara perniagaan dan keilmuannya, suatu hari ia ditegur oleh Fuhdhail bin ‘Iyad, katanya “Kamu menyuruh orang untuk zuhud, dan mencukupkan diri dengan yang sedikit tanpa berlebih-lebihan, namun kami melihat kamu mendatangkan barang-barang dagangan, bagaimana ini???
    Maka dijawab oleh Ibnul Mubarak, “Wahai Abu Ali, aku berbuat ini demi untuk menjaga wajahku dan menghargai kehormatan diri, serta menjadikannya sarana ketaatan kepada Rabbi”. Maka Fudhail berkata kepadanya: “Betapa indahnya hal ini, apabila itu terlaksana”.
    Harta adalah perhisaan dunia dan juga sarana untuk berbuat baik, asalkan seseorang kuat imannya serta tidak mudah tergoda dengan gemerlap dunia yang sering membuat seorang hamba lupa dengan kewajiban dan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah.

    Keberanian dan Perjuangannya

    Al Imam Abdullah bin al-Mubarak bukan hanya sekedar ulama Islam terkenal, dan seorang saudagar kaya yang dermawan, di balik itu semua ia adalah seorang jawara dan pendekar Islam yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah Subhanu wa Ta’ala.
    Abu Hatim ar-Razi berkata bahwa Sulaiman al-Marwazi telah mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Pada suatu saat kami bersama batalyon Abdullah bin al-Mubarak sedang bergerak di dalam negeri Romawi, maka tanpa sengaja kami bertemu dengan musuh, dan tatkala kedua barisan telah berjumpa, seorang lelaki keluar dari barisan musuh, dan dia mengajak perang tanding, maka keluarlah seorang lelaki dari kaum muslimin, dan orang Roma itu berhasil membunuhnya.
    Kemudian keluar orang lain dari barisan kaum muslimin dan dibunuhnya pula, kemudian keluar orang lain dan dibunuhnya juga, kemudian dia menantang lagi untuk perang tanding, kemudian seorang lelaki datang dan mengejarnya sesaat kemudian menusuknya hingga ia mati. Maka orang-orang berebut mengerumuninya, maka aku memandang kepadanya, ternyata dia adalah Abdullah bin al-Mubarak, dia menutupi wajahnya dengan lengan bajunya, maka aku menarik ujung lengan bajunya, dan benar dia adalah Abdullah bin al-Mubarak”.
    Allahu Akbar, memang benar Abdullah adalah salah satu pejuang Islam yang pemberani dan handal dalam berperang.
    Dalam kisah kepahlawanan yang lain, Abdullah bin Sinan berkata: “Suatu waktu aku bersama Abdullah bin al-Mubarak dan Mu’tamir bin Sulaiman di Thursus, tiba-tiba ada seruan untuk perang, maka Abdullah bin al-Mubarak pergi bersama orang-orang menjawab seruan jihad itu.
    Tatkala dua kelompok pasukan bertemu dan merapikan barisannya masing-masing, tiba-tiba keluarlah salah satu orang jagoan Romawi dari barisan mereka, dan dia menantang perang tanding, maka  seorang dari kaum muslimin keluar menghadapinya, maka jagoan Roma itu menyerangnya dengan dahsyat dan berhasil membunuhnya, sehingga terbunuhlah dalam perang tanding itu 6 orang dari barisan kaum muslimin.
    Hal itu membuatnya angkuh dan congkak, ia menantang untuk perang tanding lagi, dan tidak ada satu orang pun yang berani keluar, maka ketika itu Abdullah bin al-Mubarak menoleh kepadaku, seraya berkata, “Wahai Fulan, apabila aku terbunuh, maka lakukanlan hal ini dan hal itu.” (Ibnul Mubarak berwasiat kepadaku), kemudian dia menggerakkan kudanya dan maju ke depan menjawab tantangan orang Roma itu, maka terjadilah saling serang beberapa saat, dan akhirnya Roma itu terbunuh. Kemudian keluar orang Roma lain dan dibunuhnya pula, sehingga dia membunuh 6 orang dari tentara Roma, dan diapun menantang untuk perang tanding. Namun pasukan-pasukan Roma ciut nyalinya, maka dia pun menggerakkan kudanya dan  menghilang di dalam barisan, seakan-akan kita tidak merasakan sesuatu apapun,. Dan tiba-tiba Abdullah bin al-Mubarak telah berada di tempat tadi dia berada, di sebelahku, maka ia berkata, ‘Wahai Abdullah andaikata kamu mencerikatan hal ini tatakala aku hidup, maka aku akan berbuat ini dan itu’, ia menyebutkan kata-kata ancaman”.
    Lihatlah bagaimana Abdullah berjuang di jalan Allah hanya mengharap ridhanya dan ia pun tidak ingin orang lain mengetahui apa yang telah ia lakukan, demi menjaga keikhlasan agar jangan sampai kebaikan itu dirampok iblis karena tercampuri riya’.
    Indahnya Metode Dakwahnya
    Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas seorang muslim, namun tidak semua orang bisa melaksanakan tugas ini dengan baik karena tidak mengetahui metode yang pas dalam kondisi yang berbeda-beda, tengoklah Ibnul Mubarak.
    Pernah pada suatu hari ada seorang yang bersin di hadapannya, dan orang itu tidak mengucapkan alhamudulillah, maka Ibnul Mubarak berkata kepadanya, “Apakah yang seharusnya dikatakan oleh seseorang bila bersin?”, Orang itu berkata: “Alhamdulillah”, maka Ibnul Mubarak menyahut: “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu)”. Ibnul Mubarak tidak mencela atau menghardiknya melainkan mengingatkannya dengan sunah dan dengan cara melemparkan sebuah pertanyaan.

    Penampilan yang Sederhana

    Walau memiliki harta yang berlimpah dan ilmu yang meruah ia tetap berpenampilan sederhana, namun manusia dapat mengukurnya dari gerak-gerik dan cara berbicaranya yang penuh sopan santun.
    Diceritakan bahwa Abdullah bin al-Mubarak mendatangi Hammad bin Zaid salah seorang gurunya, di awal perjumpaan, Hammad takjub dengan sopan santun Ibnul Mubarak, maka ia bertanya kepadanya, “Dari mana Kamu?
    ‘Dari penduduk Khurasan, dari kota Merv’, jawab Ibnul Mubarak.
    ‘Apakah kamu kenal dengan satu orang yang bernama Abdullah bin al-Mubarak?’ tanya Hammad.
    ‘Iya’, jawabnya. ‘Bagaimana dia, apa yang dia perbuat?’
    ‘Dialah yang sedang berbicara denganmu’, mendengar itu maka Hammad menyalaminya dan menyambutnya dengan hangat.

    Kematian Tidak Pandang Bulu

    Setelah hidup kurang lebih 63 tahun, akhirnya Ibnul Mubarak menjumpai ajalnya.
    Dan sebelum wafat, dikala ia menanti dan dalam sekarat, Abdullah bin al-Mubarak tetap berusaha untuk beramar ma’ruf. Abdullah al-’Ajli berkata, “Ketika ajal menjeput Ibnul Mubarak, ada seseorang yang mentalkinnya, dia berkata; ‘katakanlah laa ilaha illallah’. Orang itu mengulang perkataan itu berulang kali. Maka Abdullah bin al-Mubarak berkata kepadanya, “Kamu tidak pandai melakukannya, aku khawatir kamu akan menyakiti orang Islam lain setelah aku, apabila kamu mentalkinku, dan aku telah mengatakan laa ilaha illahllah, maka biarkanlah aku, dan apabila aku mengeluarkan kata-kata lain, maka talkini aku lagi, sehingga ia menjadi akhir dari ucapanku”.
    Ia wafat pada tahun 181 H. pemimpin umat Islam pada saat itu Khalifah Harun al-Rasyid ketika mendengar berita duka wafatnya Ibnul Mubarak ia berkata “Telah wafat penghulunya para ulama”.
    Semoga kita bisa bercermin kepadanya, salah seorang pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggalkan cermin elok dan tidak pudar.
    NB: Di sadur dari kitab Siyar A’lam an Nubala, Dzahabi 8/379-422.
    Oleh: Syafiq Riza Hasan Basalamah MA

    7 Sep 2012

    Siapa Yang Tidak Mempunyai Tekad Maka Ilmunya Tidak Bermanfaat

    By: rnppsalatiga On: Jumat, September 07, 2012
  • Berbagi

  • Di sebutkan dalam kitab “Thobaqoot as-Syafi’iyah” karangan Imam as-Subki rahimahullah jilid yang ke 2/99, perkataanya Imam Syafi’i, berikut nukilannya:
    Imam Syafi’i pernah berkata: “Siapa yang mempelajari al-Qur’an maka kedudukanya akan tinggi, siapa yang mempunyai perhatian terhadap fikih maka dirinya akan menjadi mulia, dan siapa yang mau menghafal hadits maka dia akan kuat di dalam berhujah, siapa yang memperhatikan bahasa maka tabi’atnya akan lunak sedangkan barangsiapa yang mau memperlajari ilmu hisab maka pikiranya menjadi jernih, (namun) siapa saja yang tidak mempunyai tekad untuk itu semua maka tidak akan bisa mendapat ilmu yang bermanfaat baginya”.
    Sumber: Ebook Mutiara Salaf