31 Agu 2012

Utsman bin Affan Khalifah yang Terzalimi

By: rnppsalatiga On: Jumat, Agustus 31, 2012
  • Berbagi

  • Utsman bin Affan Khalifah yang Terzalimi


    Beliau adalah Abu Abdillah Utsman bin Affan bin al-Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keempat yaitu Abdu Manaf, di masa jahiliah beliau dipanggil Abu Amr namun tatkala dari istri beliau yaitu Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir seorang laki-laki yang diberi nama Abdullah lalu beliau berganti menjadi Abu Abdillah, dan beliau masyhur dengan julukan dzu nurain (pemilik dua cahaya).

    Di masa jahiliyah Utsman bin Affan adalah seorang yang terpandang dan dimuliakan oleh kaumnya. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat pemalu, hartawan, dan pemilik petuah yang didengar. Karena itulah ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh kaumnya. Ia tidak pernah sujud kepada sebuah patung pun, tidak pula berbuat keji, tidak pernah meminum khamar baik sebelum maupun setelah Islam. Utsman bercerita, “Aku tidak pernah bernyanyi, tidak pula panjang angan-angan, aku pun tidak pernah menyentuh dzakarku dengan tangan kananku setelah aku gunakan tangan itu untuk membai’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak pernah minum khamar di masa jahiliah maupun setelah Islam.”

    Keutamaan Utsman bin Affan

    Beliau termasuk as-sabiqun al-awwalun (orang-orang yang pertama menyambut dakwah Islam). Beliau mengikrarkan diri sebagai seorang muslim berkat dakwah Abu Bakr Ash-Shidddiq pada umur 34 tahun. Di saat kaumnya menolak dan mengingkari seruan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia justru membentangkan tangan, membuka hati, dan meyakini tanpa keraguan. Tatkala seruan hijrah dikumandangkan beliau adalah termasuk seorang yang tampil melaksanakan perintah sehingga beliau dua kali berhijrah, ke negeri Habasyah dan Madinah.
    Keunggulan sahabat Utsman semakin tampak pada beberapa keadaan penting di masa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itulah figur Utsman dikenal sebagai salah satu sahabat yang tidak disebut melainkan kebaikan. Di saat musim paceklik panjang, kemiskinan dan kefakiran menjadi bagian bagi setiap kaum muslimin. Di saat itu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan seruan jihad dan beliau tengah menyiapkan pasukan besar untuk diberangkatkan dalam Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Pasukan itu disebut jaisyul ‘usroh karena sulitnya kondisi materi para sahabat pada saat itu. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendorong para sahabatnya untuk berinfak dan bersedekah dalam rangka menyiapkan pasukan besar tersebut. Hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
    Barang siapa yang menyiapkan jaisyul usyroh, maka baginya surga.”
    Tiba-tiba datanglah seorang saudagar kaya yang dermawan dialah Utsman bin Affan membawa kepingan-kepingan dinar berjumlah 1000 dinar lalu diberikan di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sambil memeganginya keluarlah ucapan yang masyhur dari bibir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,
    Tidaklah memudharatkan Utsman apa yang ia lakukan setelah ini.”
    Dan juga pada saat jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan Masjid Nabawi serasa tidak dapat lagi menampung jamaah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    Barang siapa membeli lokasi milik keluarga fulan lalu menambahkan untuk perluasan masjid dengan kebaikan maka ia kelak di surga.” Lalu Utsman membelinya dari kantong uang miliknya lalu tanah itu diwakafkan untuk masjid.
    Demikian juga tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah maka tidak dijumpai air tawar kecuali dari sumur rumah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    Barang siapa membeli sumur dan menjadikan gayung miliknya bersama dengan gayung milik kaum muslimin maka kelak ia di surga.” Mendengar ucapan tersebut Utsman pun segera membelinya.
    Kemudian satu hal yang tidak boleh dilupakan – yang menambah kemuliaan sahabat Utsman, beliau adalah seorang mu’alim yang cinta kepada Alquran. Kecintaannya terhadap Alquran telah membuahkan hasil yang senantiasa dikenang hingga hari kiamat, peristiwa pengumpulan Alquran dan penyeragaman bacaan adalah bukti nyata bagi seorang yang mau merenunginya. Beliaulah sahabat yang telah meriwayatkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
    Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya.”
    Dan suatu hari Utsman memanggil orang-orang, lalu berwudhu di hadapan mereka, kemudian beliau mengatakan, “Barang siapa yang berwudhu semisal wudhuku ini lalu shalat dua rakaat dan tidak berbincang-bincang di dalamnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
    Beliau juga sering memperingatkan manusia dari bahaya dusta atas nama agama, dari beliaulah diriwayatkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka silakan mengambil tempat duduk di neraka.
    Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau yang lain, namun tidak ada yang lebih menggembirakan dari itu semua dibandingkan persaksian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallambahwa Utsman adalah min ahlil jannah (salah satu penghuni surga).
    Dari Abu Musa al-Asy’ari beliau berkata, “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke sebuah kebun dan beliau memerintahku untuk menjaga pintu kebun tersebut, maka datanglah seorang laki-laki meminta izin untuk masuk maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Izinkanlah ia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.’ Ternyata ia adalah Abu Bakr. Lalu datang seorang laki-laki yang lain dan meinta izin untuk masuk, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, ‘Izinkanlah ia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.’ Ternyata dia adalah Umar. Kemudian datang lagi seorang yang lain meminta izin untuk masuk, namun sejenak Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam, lalu beliau mengatakan, ‘Izinkanlah ia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga atas bala yang akan menimpanya.’ Ternyata dia adalah Utsman bin Affan.”
    Ishaq bin Rahawaih mengatakan, “Tidak ada seorang pun sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling baik di muka bumi ini kecuali Abu Bakr, dan tidak ada orang yang lebih baik sepeninggalnya kecuali Umar, dan tidak ada orang yang lebih baik sepeninggalnya kecuali Utsman, serta tidak ada orang yang lebih baik dan lebih mulia sepeninggalnya kecuali Ali.”
    Gelombang Fitnah
    Merupakan mukjizat kenabian, apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti terjadi. Abu Hurairah telah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    Sesungguhnya kalian akan menjumpai setelahku fitnah dan perselisihan atau perselisihan dan fitnah.Maka berkata salah seorang, “Lalu kepada siapa kami akan memihak?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpegangteguhlah kalian kepada al-Amiin ini dan sahabat-sahabatnya.” Lalu beliau mengisyaratkan kepada Utsman.”
    Maka atas apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Utsman pun mengetahui bahwa kelak ia akan dibunuh secara zalim, dan orang-orang yang keluar darinya akan menghalalkan darahnya adalah orang-orang munafik. Apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi, setelah beliau diangkat menjadi Khalifah kaum muslimin yang sah, beliau banyak menuai protes, banyak menerima kritikan dan tuduhan dari para pemberontak. Api itu makin menghalalkan darah Utsman. Di antara tuduhan-tuduhan keji mereka:
    Pertama: mereka menuduh Utsman tidak berlaku adil dalam pengangkatan para pejabatnya karena ia mengutamakan keluarganya dan mencopot jabatan sebagian sahabat kibar (senior), serta menggantinya dengan orang-orang yang lebih muda umurnya.
    Jawaban atas tuduhan tersebut:
    Adapun penggantian jabatan dari sahabat senior kepada para pemuda, maka sungguh bagi beliau terdapat panutan yang baik sebelumnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyiapkan pasukan besar untuk memerangi Romawi lalu beliau menunjuk panglimanya adalah Usamah bin Zaid yang tatkala itu masih berusia belia, sedang di belakangnya banyak para sahabat senior seperti Abu Bakr dan Umar…?? dan sebelum pasukan besar tersebut diberangkatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu meninggal dunia. Apa reaksi manusia tatkala itu, mereka datang kepada Umar untuk membujuk Abu bakar, agar ia mencopot jabatan Usamah bin Zaid sebagai panglima, maka sahabat Abu Bakr marah besar dan mengatakan kepada Umar, “Wahai Umar, ia adalah orang yang telah diangkat langsung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau memintaku untuk mencopotnya?!!”
    Al-Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Utsman adalah seorang yang berakhlak mulia, sangat pemalu, dan dermawan. Beliau sering mendahulukan keluarga dan kerabat-kerabatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka untuk ta’liful qulub (melunakkan hati), untuk suatu tujuan yang kekal melalui perkara-perkara dunia yang fana sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberi suatu kaum dan tidak memberikan kepada kaum yang lain untuk suatu tujuan agar mereka mendapat hidayah dan iman, dan sungguh untuk tujuan ini suatu kaum memahaminya, tidak sebagaimana kaum Khawarij telah melakukan protes atas apa yang diperbuat oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam.”
    Kedua: beliau dituduh telah membuat perkara baru yang tidak ada contoh sebelumnya seperti pengumpulan ayat-ayat Alquran dalam sebuah mushaf, beliau tidak meng-qashar shalat tatkala di Mina, dan beliau menambahkan adzan menjadi dua kali pada hari Jumat.
    Jawaban atas tuduhan tersebut:
    Adapun beliau membakar seluruh mushaf dan menjadikan satu mushaf saja yang disepakati maka justru para ulama memandang hal itu adalah perbuatan mulia yang menjadikan kemuliaan bagi sahabat Utsman, karena berarti beliau telah memupus benih-benih perpecahan di tubuh kaum muslimin perihal bacaan kitab suci mereka. Lihatlah apa tindakan Abu Hurairah setelah Utsman melakukan apa yang beliau lakukan terhadap Alquran lalu sahabat Abu Hurairah menemuinya seraya mengatakan, “Sungguh engkau telah benar dan mencocoki kebenaran.”
    Adapun tatkala di Mina beliau shalat sempurna dan tidak meng-qashar, maka beliau menjawab sendiri tuduhan tersebut, “Ketahuilah, yang demikian adalah karena aku mendatangi suatu negeri yang di dalamnya terdapat keluargaku, sehingga aku menyempurnakannya karena dua asalan bermukin dan menjenguk keluarga.”
    Dan Al-Hafizh telah menukil dari Al-Iman az-Zuhri beliau mengatakan, “Utsman shalat sempurna di Mina empat rakaat karena orang badui (Arab pegunungan) di tahun itu sangatlah banyak, maka Utsman hendak mengajari mereka bahwa shalat (zhuhur dan Ashar) adalah empat rakaat.”
    Adapun tentang beliau menambahkan adzan sebelum Jumat karena beliau memandang terdapat maslahat yang menuntut akan hal tersebur, karena kota Madinah semakin luas dan orang-orang semakin banyak sehingga adzan tersebut adalah tanda bahwa shalat Jumat akan segera ditegakkan.
    Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Saib bin Yazid bahwa Utsman menambahkan adzan kedua pada masanya karena tatkala itu manusia yang tinggal di Madinah sudah sangatlah banyak.
    Dan seandainya perbuatan itu munkar maka pasti akan diingkari oleh para sahabat senior yang tatkala itu masih hidup. Kalau demikian keadaannya, maka hal itu merupakan salah satu sunah khulafaur rasyidin dan sunah mereka adalah termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintah untuk berpegang teguh dengannya.
    Ketiga: Beliau dicela karena beberapa tindakan di antaranya karena beliau telah absen dalam Perang Badar, dan ketika Perang Uhud beliau termasuk orang-orang yang ikut lari ke belakang dan beliau tidak ikut dalam Bai’at Ridhwan.
    Sahabat Abdullah bin Umar telah menjawab tuduhan-tuduhan tersebut sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari:
    Seorang laki-laki datang dari Mesir untuk berhaji, lalu ia melihat suatu kaum tengah duduk-duduk. Ia bertanya, “Siapa mereka?” Lalu dijawab, “Mereka adalah orang-orang Quraisy.” Ia berkata, “Siapa syaikh mereka?” Mereka menjawab, “Abdullah bin Umar.” Lalu ia bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, aku akan menanyakan beberapa hal kepadamu. Apakah engkau tahu bahwa Utsman telah lari dalam Perang Uhud?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia melanjutkan, “Apakah engkau tahu bahwa ia juga telah absen dari Perang Badar?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia bertanya lagi, “Apakah engkau tahu bahwa ia juga telah absen dalam Bai’at Ridhwan?” Beliau menjawab, “Benar.” Lalu laki-laki itu mengatakan, “Allahu Akbar!!”
    Ibnu Umar mengatakan, “Kemarilah, aku akan jelaskan kepadamu. Adapun Utsman telah lari dalam Perang Uhud maka aku bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memaafkannya, karena AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman,
    إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَاكَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
    Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Q.S. Ali-Imran: 155)
    Adapun beliau absen dalam Perang Badar karena tatkala istri beliau yaitu putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit keras, sehingga ia diizinkan untuk tidak hadir dalam peperangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya bagimu seperti pahalanya orang yang ikut menyaksikan Perang Badar.” Dan mengenai absennya beliau dalam Bai’at Ridhwan karena seandainya ada orang yang lebih mulia dari Utsman di Mekah maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengutusnya ke Mekah, maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya, beliau mengatakan ini adalah bai’atnya Utsman.” Setelah itu Ibnu Umar mengatakan kepada laki-laki tersebut, “Sekarang pergilah engkau.”

    Wafatnya Utsman bin Affan Khalifah

    Tatkala syubhat-syubhat – yang hakikatnya lemah tersebut – tidak dapat terbendung maka api kebencian telah menyulut pada hati-hati para pemberontak. Akhirnya, mereka datang ke Madinah dan mengepung rumah Utsman. Mereka meminta agar Utsman meninggalkan kekhalifahannya atau mereka akan membunuhnya.
    Namun, Ibnu Umar segera masuk menemui Utsman dan mendorongnya agar ia jangan sampai menanggalkan kekhalifahannya karena berarti itu telah membuat sunah yang jelek, sehingga setiap kali manusia tidak menyenangi pemimpinnya, maka mereka akan mencopot paksa kepemimpinan tersebut. Utsman pun menyadari bahwa inilah fitnah yang sejak jauh-jauh hari telah diberitakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, Utsman hanya bisa bersabar dan menyerahkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Akhirnya, orang-orang Khawarij tersebut memanjat rumah Utsman, lalu pedang-pedang mereka mengalirkan darah Utsman yang suci sedang beliau tengah berpuasa dan membaca kitabullah, hingga tetesan darah pertama tatkala membaca,
    فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
    Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137)
    Di malam hari sebelum Utsman meninggal dunia, ia bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengatakan, “Wahai Utsman, berbukalah bersama kami.” Dan tatkala shubuh ia berpuasa dan meninggal dunia di hari itu juga.

    Mutiara Teladan

    Beberapa pelajaran berharga di antaranya:
    1. Aksi demonstrasi dan protes adalah buah teladan dari kaum Khawarij, dengan berpijak pada syubhat-syubhat yang lemah mereka menghalalkan yang haram. Pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang senang membuat kerusakan di muka bumi.
    2. Merupakan kewajiban seorang mukmin tatkala menerima berita hendaklah untuk tasabbut (mencari kebenaran berita) terlebih dahulu, jangan langsung asal percaya. Terlebih lagi kalau berita itu datang dari orang-orang fasik yang tidak menjaga muru’ah. Alquran mengajari kita berhati-hati dalam menerima berita-berita yang belum jelas sumbernya apalagi yang menyangkut kehormatan kaum muslimin.
    3. Figur Utsman adalah teladan bagi kita dalam membelanjakan harta yang telah diberikan AllahSubhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya para saudagar kaya, para konglomerat, sadar bahwa harta akan bermanfaat baginya bila digunakan untuk menunjang kehidupan akhirat yang kekal.
    Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 08 Tahun ke-10 Muharram 1431 H/2010

    Pengertian Yatim

    By: rnppsalatiga On: Jumat, Agustus 31, 2012
  • Berbagi

  • Pengertian Yatim


    Pertanyaan:
    Para asatidz Konsultasi Syariah yg dimuliakan Allah Ta’ala, ada pertanyaan yang ingin saya sampaikan. Bagaimana definisi dari anak yatim menurut tinjauan syariah?
    Sejauh yang saya tau dari keterangan para ulama, bahwa anak yatim yaitu anak (laki/prmpuan) yang belum baligh yang ditinggal mati ayahnya. Lalu bagaimana dengan anak yang belum baligh ditinggal mati ibunya? Apakah bisa dikatakan anak yatim jugakah?

    Mohon penjelasannya.
    Syukron jaziilan.
    Dari: Abu Shofiyyah
    Jawaban:
    Secara bahasa, yatim artinya al-fardu (sendirian) dan segala sesuatu yang ditinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya. (As-Shihah fi Al-Lughah, kata: يتم)
    Ibnu Sikkith mengatakan:
    الْيَتِيمُ فِي النَّاسِ مِنْ قِبَل الأَبِ، وَفِي الْبَهَائِمِ مِنْ قِبَل الأُمِّ، وَلاَ يُقَال لِمَنْ فَقَدَ الأُمَّ مِنَ النَّاسِ يَتِيمٌ
    “Kata ‘yatim’ untuk manusia, karena ayahnya meninggal, sedangkan untuk binatang, kata ‘yatim’ digunakan untuk menyebut binatang yang kehilangan ibunya. Manusia yang kehilangan ibunya tidak bisa disebut yatim.” (Lisanul ‘Arab, 12:645).
    Secara istilah, para ulama mendefinisikan yatim sebagai berikut:
    الْيَتِيمَ بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ”
    Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadis: “Tidak ada status yatim setelah mimpi basah.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 45:254)
    Hadis di atas, diriwayatkan oleh At-Thabrani, dalam Mu’jam Al-Kabir, 4:14, dari sahabat Handzalah bin Hudzaim. Al-Haitsami mengatakan dalam Majma’ Az-Zawaid, 4:266: Perawinya Tsiqah (Terpercaya).
    Allahu a’lam
    Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)


    Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/pengertian-yatim/#ixzz254vjDQo6

    Read more about Anak by www.konsultasisyariah.com

    ABOUT THE AUTHOR

    Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Mahasiswa Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina websitePengusahaMuslim.comKonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.



    30 Agu 2012

    By: rnppsalatiga On: Kamis, Agustus 30, 2012
  • Berbagi

  • Zubair bin Awwam

    Ketika Zubair bin Awwam sedang berada di rumahnya di Makkah, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan yang berbunyi, “Muhammad bin ‘Abdullah telah terbunuh!” Mendengar itu, Zubair pun keluar dalam keadaan telanjang dan tidak mengenakan sesuatu pun yang menutupi tubuhnya. Dia keluar sambil memegang pedangnya guna mencari orang yang telah membunuh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia ingin membunuh orang tersebut.
    Namun betapa bahagia hatinya tatkala dia menemukan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam masih dalam keadaan hidup dan tidak terluka sedikitpun Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa heran dengan kondisi Zubair yang telanjang itu, maka beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai Zubair?”

    Zubair menjawab, “Wahai Rasulullah , tadi aku mendengar berita bahwa engkau telah terbunuh.”
    Sembari tersenyum Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Lalu apa yang akan kamu perbuat, wahai Zubair ?”
    Zubair menjawab, “Aku akan membunuh semua penduduk Makkah (maksudnya orang-orang kafir ).”
    Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa gembira mendengar hal itu, lalu beliau berdoa agar Zubair mendapatkan kebaikan dan pedangnya mendapatkan kemenangan.
    Pedang Zubair ini merupakan pedang yang pertama kali dihunuskan dalam rangka berjuang di jalan Allah. Sementara tentara Islam pertama yang berjuang di jalan Allah  adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid radhiyallahu ‘anhu, putra dari bibi Rasulullah  yang bernama Shafiyah binti ‘Abdil Muthalib.
    Meskipun usia Zubair masih terbilang kecil, tetapi dia telah masuk Islam, yaitu ketika dia masih berada di Makkah. Saat itu usianya masih delapan tahun. Akan tetapi, iman tidak membedakan antara anak kecil dan orang dewasa, karena iman hanya akan masuk ke dalam hati yang suci dan bersih.
    Seperti yang biasa terjadi di Makkah, dimana seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya akan merasakan berbagai macam siksaan dan penderitaan, maka Zubair pun jatuh ke dalam “api” siksaan yang pedih itu. Ketika paman Zubair mengetahui keislaman Zubair, sang paman pun memasukkan tubuh Zubair ke dalam lipatan tikar yang terbuat dari dedaunan, lalu menyalakan api di bawah gulungan tikar tersebut hingga asap tebal pun naik ke atas. Hal ini menyebabkan Zubair hampir meninggal dunia karena merasa sesak nafas. Akan tetapi, dia tidak akan pernah kembali kepada “api” kekufuran setelah dia dibina di dalam “surga” iman. Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun terasa olehnya seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman telah menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah . Maka suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan pamannya itu. Dia berkata, “ Demi Allah , aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran untuk selama-lamanya.”
    Zubair tetap bersikukuh untuk mempertahankan keislamannya, sehingga siksaan dari orang-orang musyrik yang ditujukan kepadanya semakin hebat. Karenanya, ketika kaum muslimin berhijrah ke Habasyah, Zubair pun ikut berhijrah kesana sebanyak dua kali. Akan tetapi, dia tidak kuat berada jauh dari Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerinduannya kepada beliau semakin dahsyat, maka dia pun kembali ke Makkah agar bisa merasakan beratnya penderitaan dan cobaan di Makkah bersama Rasulullah .
    Zubair kemudian berhijrah bersama kaum muslimin ke Madinah dengan tujuan agar dia dapat memulai perjuangannya di jalan Allah  melawan pasukan kemusyrikan dan kekafiran.
    Kaum muslimin berjumah 317 orang keluar menuju ke arah Badar untuk bertempur melawan pasukan kaum musyrikin dalam sebuah peperangan  yang terbesar dalam Islam. Jumlah kaum musyrikin pada saat itu adalah 1000 orang. Dengan demikian, setiap pejuang dari kaum muslimin harus berhadapan dengan tiga orang dari pasukan kaum musyrikin. Akan tetapi, kekuatan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada saat itu sama dengan kekuatan seribu orang pasukan berkuda.
    Saai itu Zubair radhiyallahu ‘anhu mengenakan mantel berwarna kuning. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan Zubair pada sayap kanan pasukan karena beliau telah mengetahui keberanian dan kekuatan Zubair. Pada hari terjadinya perang Badar ini, Zubair telah di uji oleh Allah  dengan ujian yang baik.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat orang seperti Zubair, lalu beliau bersabda kepadanya, “Perangilah mereka, wahai Zubair!”
    Orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.”
    Rasulullah  pun akhirnya tahu bahwa orang itu merupakan salah satu malaikat yang telah diturunkan oleh Allah dalam sosok Zubair radhiyallahu ‘anhu. Sementara pada hari terjadinya perang Uhud, Zubair termasuk salah seorang yang tetap berada di sekeliling Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu dia berusaha membela beliau dari serangan kaum musyrikin. Selanjutnya, setelah terjadinya perang Uhud, Zubair bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berjalan membuntuti pasukan kaum musyrikin dengan tujuan mengusir mereka. Kaum musyrikin pun merasa takut, lalu mereka segera kembali ke Makkah, ketika mereka melihat Zubair, seorang pasukan berkuda yang terkenal di Makkah dan seorang tentara Islam.
    Adapun pada perang Khandaq, kondisi kaum muslimin sangat buruk. Bahkan setiap orang diantara mereka tidak bisa masuk ke toilet karena pengepungan yang dilakukan terhadap mereka sangat ketat, sehingga mereka takut terbunuh. Kondisi semakin memburuk ketika kaum Yahudi Bani Quraidhah mengingkari perjanjian mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka membuka peluang lebar bagi kaum musyrikin untuk masuk ke Madinah. Karenanya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru kepada kaum muslimin, “Siapa yang akan pergi ke Bani Quraidhah untuk memerangi mereka?”
    Melihat situasi yang menakutkan ini, tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mau keluar untuk memerangi mereka. Saat itu Zubair berdiri, lalu berkata, “Akulah yang akan keluar, wahai Rasulullah !”
    Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi seruannya itu, tetapi tidak ada seorang pun yang mau keluar, kecuali Zubair. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya setiap Nabi mempunyai Hawari (pengikut setia) dan Hawariku adalah Zubair.”
    Sejak hari itu Zubair pun menjadi hawari (pengikut setia) Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Zubair keluar untuk memerangi Bani Quraidhah. Saat itu Zubair mengetahui bahwa ibunya, Shafiyyah, telah membunuh seorang laki-laki Yahudi yang memata-matai kaum muslimin dari kalangan wanita. Demikianlah, sang anak dan ibunya sama-sama berjuang untuk memberikan pengabdian kepada agama Allah.
    Setelah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, tampuk kekhilafahan dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, dan setelah itu diteruskan oleh ‘Umar bin Khaththab. Pada masa-masa itu Zubair radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang tentara Islam yang kuat yang selalu berdiri di barisan terdepan dengan harapan agar negeri-negeri yang musyrik dapat di taklukan, lalu para penduduknya pun mau masuk Islam dan selamat dari “api” kekufuran.
    Zubair pergi sambil menghunuskan pedangnya. Dia dapat mengalahkan kaum musyrikin dan menaklukan sejumlah negeri, lalu para penduduk di negeri-negeri tersebut pun masuk ke dalam agama Allah  secara berbondong-bondong.
    Saat menaklukan sejumlah negeri itu, Zubair teringat akan hari terjadinya perang melawan Bani Quraidhah, maka dia pun berteriak sambil berkata, “Ini adalah hari seperti hari (keberuntungan) Hamzah, dimana (saat itu) dia telah naik ke atas benteng dengan ditemani oleh ‘Ali bin Abi Thalib, lalu mereka berdua pun berhasil membuka benteng-benteng kaum Yahudi.”
    Peristiwa gugurnya Hamzah bin ‘Abdul Muthalib yang merupakan paman Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam (dari pihak ayah), singa Allah dan rasul-Nya, serta paman Zubair (dari pihak ibu), masih terus teringat dalam ingatan Zubair hingga Zubair meninggal dunia. Ketika dia memasuki medan peperangan, dia teringat akan sosok Hamzah yang sedang berperang melawan orang-orang musyrik seperti seekor singa yang perkasa.
    Pada perang Yarmuk yang dilakukan guna menaklukan negeri Syam, teriakan Zubair memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan satu rombongan pasukan, hingga musuh-musuh Allah  yang ada di hadapannya pun mengalami kekalahan dan lari terbirit-birit seperti larinya tikus-tikus yang ketakutan.
    Diantara hal baik yang diterima oleh Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa dirinya termasuk ke dalam rombongan pasukan yang di pimpin oleh ‘Amr bin ‘Ash yang datang ke Mesir guna menaklukan negeri tersebut dan memasukkan agama Islam ke dalamnya.
    Ketika sampai di depan benteng Babilonia, kaum muslimin berhenti. Usaha mereka guna menjebol benteng yang kokoh ini hampir habis, padahal mereka belum bisa menaklukkannya. Pengepungan terhadap benteng tersebut dilakukan selama berbulan-bulan, hingga Zubair memperlihatkan suatu tindakan yang menarik yang menunjukkan sikap kepahlawanannya.
    Zubair berkata kepada kaum mukminin, “Sesungguhnya aku mempersembahkan jiwaku ini untuk Allah. Aku berharap agar Allah menaklukan benteng itu untuk kaum muslimin.”
    Zubair meletakkan sebuah tangga ke dinding benteng tersebut, lalu dia naik ke atasnya. Sebelum naik, dia berpesan kepada rekan-rekannya, “Jika kalian mendengar bacaan takbirku, maka bertakbirlah kalian!”
    Zubair pun menaiki tangga yang sudah diletakkan di dinding benteng, lalu kaum muslimin pun mengikuti jejaknya. Ketika Zubair mengucapkan takbir, kaum muslimin yang berada di belakangnya juga ikut mengucapkan takbir. Hal ini menyebabkan rasa takut mulai merasuk ke dalam hati pasukan Romawi. Maka mereka pun meninggalkan benteng tersebut. Akhirnya, Zubair radhiyallahu ‘anhu berhasil menaklukan benteng itu seorang diri. Setelah itu, seluruh wilayah Mesir pun berhasil ditaklukan satu per satu.
    Kaum muslimin telah mengetahui betapa besarnya pengorbanan dan perjuangan Zubair. Bahkan salah seorang dari kaum  muslimin pernah berkata, “Sungguh aku telah melihat dada Zubair, dan sungguh pada dadanya itu terdapat goresan-goresan akibat sabetan pedang dan tusukan tombak yang menyerupai aliran-aliran air.”

    Kerinduan Zubair bin Awwam untuk syahid

    Zubair radhiyallahu ‘anhu sangat merindukan derajat gugur sebagai syahid dan mati di jalan Allah. Setiapkali dia memasuki medan peperangan, dia selalu menggenggam ruhnya di telapak tangannya ( maksudnya dia telah siap untuk mati). Akan tetapi, selama mengikuti sejumlah peperangan dalam Islam, Zubair radhiyallahu ‘anhu tidak pernah terbunuh.
    Karena sangat besar rasa cinta dan kerinduannya kepada derajat gugur sebagai syahid, Zubair pun menamai anak-anaknya dengan nama-nama para syuhada. Dia menamai putranya dengan nama ‘Abdullah dengan maksud meniru nama ‘Abdullah bin Jahsy, orang yang pertama kali dijuluki julukan Amirul Mukminin dan salah seorang yang gugur sebagai syahid dalam perang Uhud. Putranya yang bernama Mush’ab telah dinamai dengan nama tersebut dengan makud mencontoh nama Mush’ab bin Umair, seorang yang gugur sebagai syahid dalam perang Uhud dan orang yang pertama kali menjadi delegasi dalam Islam. Sementara putranya yang bernama Hamzah, dinamai dengan nama tersebut dengan maksud mencontoh nama singa Allah dan rasul-Nya, yaitu Hamzah bin Abi Muthalib. Demikian pula dengan nama anak-anaknya yang lain.
    Seperti halnya dengan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, Zubair adalah orang kaya, dermawan, sering bershadaqah, dan telah membagikan seluruh hartanya kepada orang-orang fakir, sehingga dia tidak meninggalkan sedikitpun dari hartanya itu untuk dirinya sendiri. Bahkan dia telah mencurahkan jiwa dan hartanya di jalan Allah .
    Zubair dan Thalhah bin Ubaidillah hidup dalam keadaan keduanya saling bersaudara karena Allah , hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “ Thalhah dan Zubair adalah dua tetanggaku di surga (nanti).”
    Setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Zubair dan Thalhah berperang melawan ‘Ali bin Abi Thalib  dalam sebuah peperangan yang dinamakan dengan perang Jamal. ‘Ali pun keluar untuk menemui Zubair, lalu dia berkata kepadanya, “Wahai Zubair, tidaklah kamu mendengar sabda Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditujukkan kepada dirimu : ‘ Sesungguhnya kamu akan memerangi ‘Ali (saat itu) kamu berbuat zhalim kepadanya.’”’
    Setelah mendengar perkataan ‘Ali itu, Zubair langsung teringat akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, maka dia bersama Thalhah bin Ubaidillah pun segera mundur dari medan pertempuran.
    Akan tetapi, para pembuat fitnah (kerusuhan) menolak untuk mundur, kecuali setelah mereka membunuh Zubair dan Thalhah. Pertama kali mereka membunuh Thalhah ; dan tatkala Zubair sedang mengerjakan shalat, tiba-tiba seorang laki-laki yang biasa dipangil dengan nama Ibnu Jurmuz melemparkan anak panahnya ke arah Zubair, hingga akhirnya Zubair pun terbunuh.
    Selanjutnya, Ibnu Jurmuz pergi ke tempat ‘Ali bin Abi Thalib dengan maksud untuk menemuinya. ‘Ali berkata, “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘ Berilah kabar buruk kepada orang yang membunuh Ibnu Shaffiyah –maksudnya Zubair- bahwa dia akan masuk neraka.’”
    ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pergi untuk melihat jenazah Zubair yang telah berlumuran darah. ‘Ali membalikkan jenazah Zubair itu guna menciumnya. Saat itu dia menangis sambil berkata : ” Demi Allah , sungguh dia adalah pedang Allah yang selalu membela Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
    Jasad Zubair pun dikuburkan di samping jasad Thalhah agar mereka berdua dapat saling berdampingan di dalam kubur, sebagaimana ketika berada di dunia. Mereka telah menjadi dua orang yang saling bersaudara, lalu mereka berdua akan menjadi tetangga Rasulullah  di dalam surga, sebagaimana sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah dua tetanggaku di surga.”
    Peristiwa pembunuhan Zubair bin Awwam ini juga terjadi pada tahun ke-26 Hijriyah.
    Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh Kisah Muslim)