21 Sep 2012

Janji Setia Seorang Muslim

By: rnppsalatiga On: Jumat, September 21, 2012
  • Berbagi

  • Sebagai bentuk kesempurnaan seorang muslim, kita harus mengenal sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mempelajari kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi nabi dan sesudahnya. Mempelajari ciri-ciri khalqiyyah (fisik) sekaligus khuluqiyyah (akhlak) beliau. Membaca dan memahami petunjuk hidup yang beliau wariskan dengan keyakinan kuat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk kemudian diamalkan tentunya. Karena sejarah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan hikmah, ibrah, serta pelajaran-pelajaran penting bagi hamba yang hendak meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
    Di antara peristiwa penting yang terjadi di dalam sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pengucapan bai’at, yakni janji setia yang diucapkan oleh sahabat, sebagai manusia-manusia pilihan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan satu hal. Janji-janji kebaikan yang diucapkan oleh generasi terbaik di hadapan manusia terbaik di dunia. Janji-janji itu tidak hanya berlaku dan diamalkan oleh para sahabat saja. Tetapi janji-janji itu pun harus diamalkan oleh setiap muslim yang ingin mengikuti jejak generasi terbaik umat ini.
    Sejarah telah mencatat sekian banyak janji setia setiap muslim dengan para sahabat sebagai barisan yang terdepan. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang bai’at untuk selalu bersikap sabar. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha tentang janji setia setiap muslim untuk tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak meratapi kematian seseorang. Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu tentang janji setia setiap muslim untuk senantiasa bersikap taat dan mendengar terhadap penguasa dalam keadaan apapun. Ada juga hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan:
    Aku mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa sahabat yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku membai’at kalian untuk tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian serta tidak akan mendurhakai diriku dalam urusan yang baik. Maka barangsiapa memenuhi janji-janji ini niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi pahala untuknya. Dan barangsiapa yang melanggar janji-janji ini kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumnya di dunia maka hukuman itu adalah kaffarah dan pembersih dirinya. Barangsiapa yang pelanggarannya ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka urusannya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ia akan diazab dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ia akan diampuni.”
    Seluruh bai’at yang telah diucapkan sahabat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berlaku bagi mereka saja. Bai’at-bai’at tersebut sekaligus warisan yang harus diteguhkan dan diwujudkan oleh setiap muslim yang hidup setelah mereka sebagai janji setia. Janji setia yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena janji setia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk janji setia kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath:10)


    Khalid bin Walid ‘Pedang Allah’ yang Tak Terkalahkan (bag. 3 – Selesai)

    By: rnppsalatiga On: Jumat, September 21, 2012
  • Berbagi


  • kholid bin walid

    Pembebasan Irak

    Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan kemenangan pada kaum muslimin dalam memerangi orang-orang murtad dan orang yang enggan membayar zakat, Abu Bakar ash-Shiddiq menyadari bahwa bahaya besar yang selalu mengancam daulah Islam yang berada di perbatasan wilayah muslimin, yaitu Persia di Irak dan Romawi di daerah Syam. Oleh karena itu, ash-Shiddiq segera memerintahkan saifullah Khalid bin Walid untuk berangkat bersama pasukannya menuju Irak.

    Sang pejuang Islam pun berangkat ke Irak. Ia mulai dengan operasi mengirim surat kepada seluruh gubernur bawahan Kisra dan wakil-wakilnya di berbagai kota dan pelosok daerah Irak. Ia ajak mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan masuk ke dalam Islam. Jika tidak mau, mereka mesti membayar jizyah atau pilihan terakhir yaitu perang.
    Mata-mata yang disebarkannya di berbagai tempat melaporkan tentang jumlah pasukan yang sangat banyak yang telah disiapkan oleh pemimpin-pemimpin Persia di Irak. ‘Pedang Allah yang terhunus’ tidak menyia-nyiakan waktunya. Ia segera mempersiapkan pasukannya untuk menghancurkan kebatilan dan seolah-olah bumi dilipatkan untuknya secara sangat menakjubkan.
    Dari pertempuran Dzat as-Salasil dan terbunuhnya Hurmuz – eorang panglima pasukan perisa– di tangan Khalid bin Walid menuju pertempuran al-Madzar, lalu pertempuran al-Walijah, pertempuran Ullais, pertempuran Umighyasyiyya, kemudian penaklukan al-Hirah –ibu kota Persia di Irak– lalu pertempuran al-Anbar, pertempuran Ain at-Tamar, lalu menaklukkan Daumat Jandal di mana rajanya melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian pertempuran Khanafis, pertempuran al-Hashid, pertempuran al-Mudhayyah, dan pertempuran al-Firadh.
    Setiap saifullah, Khalid bin Walid, meraih satu kemenangan yang membanggakan seluruh kaum muslimin, ia segera disambut oleh kemenangan lain yang lebih besar dan lebih hebat. Belum sempat Persia bangun dari sebuah kekalahan telak, mereka kembali menderita kekalahan yang jauh lebih telak dan menyakitkan di hadapan pahlawan Islam yang tak terkalahkan.
    Khalid bin Walid mengirim kabar gembria dan seperlima dari harta rampasan perang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Ash-Shiddiq sangat gembira mendapat kabar tersebut. Lalu ia berkhotbah di depan para sahabat sambil memuji dan mengakui kejeniusan Khalid bin Walid dalam strategi perang yang luar biasa, dan ash-Shiddiq lebih tahu dengan tokoh-tokoh yang telah ditunjuknya. Ia berkata, “Wahai sekalian kaum Quraisy, sesungguhnya ‘singa’ kalian telah mengalahkan singa yang sesungguhnya, lalu ia merobek-robek dagingnya. Tak akan ada lagi wanita yang mampu melahirkan sosok seperti Khalid bin Walid.”

    Petualangan yang Berbahaya

    Khalid bin Walid menjadikan Hirah sebagai markas (pangkalan militer) utama di Irak. Dari sana ia mulai bergerak jika ingin terjun ke sebuah peperangan dan ke sana ia akan kembali jika situasi sudah tenang. Setelah selesai dari pertempuran Firadh dan daerah-daerah perbatasan Syam sudah ditaklukkan, ia menginstruksikan pasukannya untuk kembali ke Hirah. Ia memerintahkan Ashim bin Amru untuk mengomandokan barisan depan pasukan dan Syajarah Ibnul A’azz untuk mengomandokan barisan bagian belakang. Khalid sendiri berjalan di bagian belakang pasukan.”
    Pasukan mulai bergerak dengan membawa segala peralatan dan perangkat perang yang berat-berat. Di sini Khalid melakukan sebuah petualangan yang sangat berbahaya. Dengan beberapa orang-orang dekatnya ia pergi ke Masjid Haram untuk melaksanakan ibadah haji. Ia pergi ke Mekah dengan melewati jalan yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Ia melewati padang pasir yang sangat sulit dan melalui jalan yang sangat berbahaya. Akhirnya ia sampai di Mekah dan berhasil melaksanakan ibadah haji tahun itu.
    Setelah itu ia segera kembali ke dalam barisan pasukan (bagian belakang) sebelum mereka sampai di Hirah. Tak ada yang menyadari petualangan dan ibadah haji yang dilakukan oleh Khalid selain beberapa orang yang ikut bersamanya.

    Menaklukkan Wilayah-Wilayah Romawi

    Abu bakar ash-Shiddiq menyiapkan pasukan yang sangat banyak untuk menaklukkan Romawi. Ia telah memilih sahabat-sahabat terbaik untuk memimpin pasukan-pasukan tersebut. Di antaranya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiallahu ‘anhu, Amru bin Ash radhiallahu ‘anhu, Yazid bin Abu Sufyanradhiallahu ‘anhu, dan Syuhrabil bin Hasanah radhiallahu ‘anhu.
    Ketika berita tentang pasukan kaum muslimin sampai ke telinga Heraklius, pengauasa Romawi, ia menyarankan kepada para menteri dan panglima-panglimanya untuk berdamai dengan kaum muslimin dan tidak berperang. Tapi, para menteri dan panglimanya tidak mau menerima saran itu. Mereka bersikeras untuk tetap berperang. Mereka lalu menghimpun pasukan yang jumlahnya mencapai 240.000 prajurit.
    Pasukan Romawi berhenti di sebuah lemah dan berkemah di pinggir lembah tersebut. Mereka menjadikan lembah itu sebagai parit yang membatasi mereka dengan kaum muslimin. Akhirnya kaum muslimin mengepung mereka selama tiga bulan. Kedua pasukan sama-sama tidak bisa saling menyerang. Ketika pengepungan tersebut cukup lama dan cukup berat bagi kaum muslimin, mereka mengirim surat kepada Khalifah untuk mengabarkan jumlah pasukan Romawi yang sangat banyak dan meminta bantuan pada Khalifah.
    Setelah ash-Shiddiq membaca surat dari para komandan tersebut, segera terlintas dalam pikirannya nama seorang pembungkam kaum murtad, penakluk Irak dan membersihkannya dari Persia, pedang Allah yang selalu terhunus, dan pahlawan yang tak terkalahkan, yaitu Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu. Wajah Khalifah segera bersinar. Ia berkata dalam hati, “Khalid yang cocok untuk tugas ini. Demi Allah, aku akan membuat bangsa Romawi melupakan bisikan-bisikan setan dengan kedatangan Khalid bin Walid.”
    Ash-Shiddiq menulis surat kepada Khalid bin Walid. Dalam surat itu ia menyayangkan petualangan Khalid yang berbahaya tapi sekaligus memberi selamat atas kemenangannya. Khalifah juga mengingatkan dan memberinya nasihat lalu memotivasinya untuk membantu saudara-saudaranya para komandan perang di Syam dan menyempurnakan nikmat Allah terhadapnya dengan menaklukkan Syam sebagaimana ia telah menaklukkan Irak, serta dengan menghancurkan kekuatan Romawi sebagaimana ia telah menghancurkan kekuatan Persia.
    Khalifah menulis kepadanya, “Berangkatlah sampai engkau berjumpa dengan pasukan kaum muslimin di Yarmuk karena sesungguhnya mereka sekarang dalam keadaan sedih dan gelisah. Tapi jangan lakukan lagi apa yang telah engkau lakukan karena sesungguhnya –dengan pertolongan Allah– tak seorang pun yang dapat membuat pasukan gelisah seperti halnya dirimu dan tak seorang pun yang dapat menghilangkan kecemasan dari pasukan selain dirimu. Semoga niat yang baik dan kemenangan selalu menyertaimu, wahai Abu Sulaiman. Maka, sempurnakanlah (perjuangan) dan semoga Allah menyempurnakan (nikmat-Nya) untukmu. Jangan sampai kesombongan merasuki dirimu yang akan membuatmu merugi dan hina. Jauhi dirimu dari menyebut-nyebut amal karena hanya Allah yang berhak menyebut-nyebut karunia-Nya dan Dia-lah yang berhak memberi balasan.”
    Khalifah melanjutkan, “Berangkatlah sampai engkau tiba di Syam. Di sana engkau akan bertemu Abu Ubaidah ibnul Jarrah bersama pasukannya. Apabila engkau berjumpa dengan mereka maka engkaulah yang memimpin seluruh pasukan. Wassalamu alaikum warahmatullah.”

    Iman dan Etika yang Mulia

    Khalid bin Walid menaati perintah Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia amanahkan wilayah Irak kepada Mutsanna bin Haritsah. Bersama pasukannya. Ia bergerak menuju posisi pasukan muslimin di wilayah Syam.
    Sebelumnya, ia telah mengobarkan semangat dan mengokohkan iman seluruh pasukannya. Ia berkata, “Jangan sampai semangat juang kalian berbeda dan jangan sampai keyakinan kalian lemah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan itu datang sesuai dengan niat yang terhunjam dan pahala akan diberikan sesuai dengan tingkat keikhlasan. Sesungguhnya seorang muslim tidak sepantasnya membanggakan sesuatu yang ia lakukan karena itu semua atas pertolongan AllahSubhanahu wa Ta’ala.”
    Kata-kata itu telah memberikan pengaruh yang besar dalam jiwa kaum muslimin sebagaimana yang diharapkan oleh Khalid bin Walid. Dengan semangat luar biasa mereka melintasi padang pasir yang sangat gersang. Khalid sendiri semakin bertambah keyakinan dan semangatnya saat menyaksikan semangat pasukannya dalam berkorban.
    Ia berpikir tentang kondisi kaum muslimin yang sedang terdesak oleh pasukan Romawi yang berjumlah lebih besar dan memilki persenjataan yang lebih lengkap. Ia juga berpikir tentang Amin al-Ummah (orang kepercayaan umat), Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yang sedang memimpin pasukan Islam di sana. Khalid berpendapat untuk memberi tahu mereka tentang datangnya bantuan yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian di dalam jiwa pasukan muslimin yang berada di Syam.
    Ia juga berpikir –setelah Khalifah mengamanahkan kepadanya komando umum pasukan dan mengutusnya untuk membawahi komandan-komandan pasukan di Syam– untuk menyampaikan kepada Abu Ubaidah bahwa ia sangat menyadari dan mengakui posisi dan derajatnya di tengah-tengah kaum muslimin. Maka Khalid mengirim dua pucuk surat, satunya ia kirim untuk seluruh pasukan kaum muslimin di Syam yang berbunyi,
    “Amma ba’du, sesungguhnya surat Khalifah telah sampai kepadaku dan menyuruhku untuk bergerak menuju kalian dan aku sudah siaga serta akan segera sampai. Jika sudah kalian tangkap bayang-bayang kudaku, maka bergembiralah untuk menyempurnakan janji Allah dan pahala yang besar dari sisi-Nya. Semoga Allah menjaga kita semua dengan keyakinan yang kuat dan membalasi kita dengan pahala mujahid terbaik.”
    Surat kedua ia kirim langsung secara khusus pada Abu Ubaidah,
    “Amma ba’du, sesungguhnya aku berdoa kepada Allah untuk menurunkan kepada kita rasa aman di hari penuh kecemasan dan terpelihara dari segala yang buruk di dunia ini. Surat Khalifah telah datang kepadaku yang berisi perintah agar aku segera bergerak menuju Syam dan mengomandokan seluruh pasukan. Demi Allah, aku tak pernah meminta hal itu dan tidak pula aku menginginkannya ketika aku diserahkan amanah tersebut. Maka tetaplah engkau pada posisimu saat ini, kami tidak akan melanggar perintahmu atau menyalahimu dan kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa konsultasi denganmu karena engkaulah pemimpin kaum muslimin. Kami tidak akan memungkiri kemuliaan dan kelebihanmu dan kami tidak akan mengabaikan pendapatmu. Semoga Allah menyempurnakan niat kita semua dengan lebih baik dan memelihara kita dari terjerumus ke dalam neraka. Wassalamu alaikum warahmatullah.”
    Setelah Abu Ubaidah ibnul Jarrah membaca surat dari Khalid ia berkata, “Semoga Allah memberkahi pendapat dan keputusan Khalifah dan semoga Allah memuliakan Khalid.” Kemudian ia melanjutkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    Khalid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah. Ia adalah pemuda terbaik dalam sebuah keluarga.”

    Pertempuran Yarmuk

    Seluruh pasukan muslimin berkumpul setelah komando dipegang oleh Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia berpidato di depan mereka, “Sesungguhnya ini adalah satu hari di antara hari-hari Allah, tidak sepantasnya ada kesombongan dan kezaliman. Ikhlaskan niat jihad kalian dan tujuan AllahSubhanahu wa Ta’ala dengan amal kalian!” Setelah itu, sang pahlawan yang tak terkalahkan ini memegang tali kekang kudanya lalu mengangkat panji tinggi-tinggi seraya menyerukan pekikan jihad, “Allahu akbar! Bertiuplah angin surga.”
    Peperangan berlangsung dengan sangat sengitnya. Tak ada bandingnya. Pasukan Romawi terjun berpeleton-peleton bagaikan gunung. Mereka menghadapi perlawanan dari kaum muslimin yang tidak mereka duga-duga sebelumnya. Pasukan muslimin memperlihatkan potret perjuangan dan pengorbanan yang sangat mencengangkan dari prajurit-prajurit yang berani mengorbankan jiwa mereka dan juga dari kekokohan semangat mereka. Pertempuran Yarmuk telah menjadi arena yang jarang ditemukan bagi para fida’iy (prajurit yang berani mati syahid).
    Kejeniusan Khalid telah mencengangkan pemimpin dan komandan-komandan pasukan Romawi. Hal itu membuat salah seorang di antara mereka bernama Jurjah/George mengundang Khalid pada salah satu masa istirahat perang. Ketika keduanya sudah bertemu, komandan pasukan Romawi itu bertanya kepada Khalid, “Wahai Khalid, jawablah dengan jujur dan jangan berbohong karena seorang yang merdeka tidak akan berbohong dan jangan pula engkau tipu aku karena seorang yang mulia tidak akan menipu orang yang berharap secara baik-baik. Demi Allah, apakah Allah pernah menurunkan sebuah pedang dari langit kepada Nabi-Nya lalu diberikannya kepadamu sehingga setiap kali engkau hunuskan pada suatu kaum engkau pasti bisa mengalahkannya?”
    Khalid menjawab, “Tidak.”
    “Kalau demikian, kenapa engkau dijuluki pedang Allah?”
    “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya pada kami lalu ia menyeru kami, tapi kami lari dan menjauh darinya. Kemudian sebagian dari kami memercayai dan mengikutinya dan sebagian lagi menjauh dan mendustakannya. Mulanya aku termasuk yang mendustakan, menjauh, bahkan memeranginya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala melembutkan hati kami dan memberi kami petunjuk sehingga kami mengikutinya. Kemudian beliau bersabda, ‘Engkau adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan kepada kaum musyrikin’.”
    “Engkau telah jujur,” kata komandan Romawi itu. Lalu ia melanjutkan, “Wahai Khalid, beritahukanku, kepada apa kalian mengajak?”
    Khalid menjawab, “Kepada syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya serta membenarkan segala hal yang dibawanya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
    Komandan Romawi itu mulai mendekati Khalid. Ia berkata, “Ajarkan aku Islam.”
    Akhirnya Jurjah/George masuk Islam. Kemudian ia berwudhu dan shalat dua rakaat karena Allah. Hanya itu shalat yang sempat ia kerjakan. Tak berapa lama setelah itu, kedua pasukan kembali memulai peperangan. Jurjah, sang komandan Romawi itu, berperang mati-matian di barisan kaum muslimin untuk mengejar syahadah sampai akhirnya ia memperolehnya.
    Perang berakhir dengan sangat hebat. Kaum muslimin di bawah komando Khalid bin Walid telah berhasil merebut kemenangan dari taring-taring Romawi dengan sangat mengagumkan.
    Khalid menyerahkan kembali kepemimpinan kepada Amin al-Ummah, Abu Ubaidah ibnul Jarrah, setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq dan naiknya Umar ibnul Khaththab sebagai Khalifah baru.
    Khalid tetap menjadi seorang tentara yang jenius dan legendaris. Keikhlasannya tidak kurang dan semangatnya tak pernah melemah. Ia tak pernah kekurangan ide-ide hebat karena ia adalah pedang Allah dan seorang pejuang Islam sejati.

    Wafatnya sang Pahlawan

    Sekarang tibalah saatnya sang pahlawan untuk istrirahat. Bumi tak pernah menyaksikan sosok sepertinya yang membuat seorang ‘musuh’ tak bisa tenang. Tibalah saatnya bagi tubuhnya yang letih untuk beristirahat. Dialah yang disifati oleh sahabat dan musuhnya sebagai ‘seseorang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.’
    Tapi baginya, andaikan disuruh memilih tentu ia akan memilih agar usianya dipanjangkan oleh Allah beberapa tahun lagi untuk meneruskan perjuangan menghancurkan benteng-benteng kekafiran dan kemusyrikan serta melanjutkan amal dan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Di saat ajal akan menjemput Khalid bin Walid, ia menangis dengan pilu. Adalah sebuah tragedi baginya ketika hidupnya berakhir di atas kasur sementara ia telah menghabiskan usianya di atas punggung kuda dan di bawah kilatan pedang untuk berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, membungkam pelaku-pelaku kemurtadan dan meratakan singgasana Persia di Irak dan Romawi di Syam dengan tanah. Ia berkata, “Aku telah merasakan ini dan itu di medan perang dan seluruh bagian dari tubuhku terdapat bekas pukulan pedang, lemparan panah, atau tusukan tombak. Tapi sekarang aku akan mati di atas kasur seperti matinya seekor unta. Tidak akan pernah tidur mata orang-orang pengecut.”
    Kemudian ia berkata lagi, “Aku telah mengejar kematian di tempatnya tapi aku tidak ditakdirkan untuk mati kecuali di atas kasurku. Tak ada satu amal pun yang lebih aku harapkan setelah kalimat lailaha illallah selain satu malam yang aku lalui dalam keadaan siaga sementara langit mengguyurkan hujannya sampai pagi. Kemudian pada pagi harinya kami melancarkan serangan terhadap kaum kafir.”
    Khalid bin Walid sangat mencintai jihad fi sabilillah. Ia pernah berkata, “Aku tidak tahu dari hari yang mana aku hendak lari; apakah dari hari yang Allah berkehendak untuk menghadiahkan syahadah kepadaku ataukah dari hari yang Allah berkehendak untuk menghadiahkan kemuliaan kepadaku (dengan kemenangan yang gemilang)?”
    Ketika Abu Darda radhiallahu ‘anhu datang menjenguknya di akhir-akhir kehidupannya, ia berwasiat kepada Abu Darda, “Sesungguhnya kuda dan senjataku sudah aku infakkan untuk digunakan demi jihad fi sabilillah, sementara rumahku di Madinah untuk disedekahkan dan aku sudah meminta Umar ibnul Khaththab sebagai saksinya. Dialah sebaik-baik penolong terhadap Islam dan aku sudah limpahkan wasiat dan pelaksanaannya kepada Umar.”
    Ketika hal itu sampai kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Semoga AllahSubhanahu wa Ta’ala merahmati Abu Sulaiman. Apa yang di sisi Allah lebih baik baginya dari apa yang ada padanya. Ia telah wafat dalam keadaan bahagia dan hidup dalam keadaan terpuji. Akan tetapi aku lihat masa tidak akan berhenti.”
    Umar ibnul Khaththab ikut mengantar jenazahnya. Ibu Khalid bin Walid mendendangkan beberapa bait syair yang berisi kelebihan-kelebihan Khalid. Ia berkata,
    Engkau lebih baik dari sejuta kaum
    Ketika para tokoh banyak tersalah
    Pemberani? Engkau lebih berani dari singa
    Laki-laki kuat mempertahankan diri dari anak-anak singa
    Dermawan? Engkau lebih dermawan dari hujan yang mengguyur menggenangi lembah-lembah
    Mendengar itu Umar ibnul Khaththab berkata, “Demi Allah, engkau benar. Sesungguhnya ia memang demikian adanya.”
    Selesai
    Sumber: Pendekar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ksatria Islam yang Gagah Berani, Asyraf Muhammad al-Wahsy, Gema Insani Press, 2011
    Artikel sebelumnya:

    Khalid bin Walid ‘Pedang Allah’ yang Tak Terkalahkan (bag. 2)

    By: rnppsalatiga On: Jumat, September 21, 2012
  • Berbagi


  • kisah kholid bin walid

    Perang Mu’tah

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim sebuah pasukan yang berjumlah sebanyak 3000 prajurit ke daerah Mu’tah untuk membalas dendam terhadap kematian Harits bin Umair al-Azdiradhiallahu ‘anhu yang diutus oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membawa suratnya kepada Raja Bushra guna menyerunya masuk Islam.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Zaid bin Haritsah untuk memimpin komando pasukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,
    “Zaid bin Haritsah yang akan menjadi komandan. Jika ia terbunuh maka komando pasukan diambil oleh Ja’far bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga terbunuh maka pimpinan diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah juga terbunuh maka silakan kaum muslimin memilih di antara yang mereka ridhai untuk menjadi pimpinan.”
    Berita tentang bergeraknya pasukan muslimin sampai ke telinga musuh. Heraklius, penguasa Romawi, segera mengumpulkan pasukan yang berjumlah lebih dari 100.000 prajurit untuk mempertahankan wilayah Ghasasinah. Turut bergabung ke dalam pasukan tersebut 100.000 orang dari Arab Badui yang musyrik.
    Kadua pasukan bertemu di daerah Mu’tah. Peperangan sengit pun mulai berkecamuk. Sebanyak 3.000 orang menghadapi serangan 200.000 orang.
    Kaum muslimin terjun ke dalam peperangan yang tak seimbang itu tanpa rasa gentar. Kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan jumlah, kekuatan, atau banyak pasukan. Mereka berperang dengan agama yang Allah telah muliakan mereka dengannya. Mereka menyongsong pintu-pintu syahadah dengan penuh suka cita dan keberanian yang menakjubkan.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi tahu Rasul-Nya semua hal yang terjadi pada para sahabat. Beliau naik ke mimbar. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau bersabda kepada para sahabat yang hadir,
    Sesungguhnya saudara-saudara kalian telah berhadapan dengan musuh. Pertama kali panji dipegang oleh Zaid bin Haritsah. Ia berperang dengan gagah berani sampai akhirnya syahid. Kemudian panji diambil oleh Ja’far bin Abu Thalib. Ia berperang sampai akhirnya juga syahid. Setelah itu panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Lalu ia berperang sampai akhirnya jatuh syahid. Terakhir, panji diambil oleh pedang di antara pedang-pedang Allah; Khalid bin Walid, maka Allah menenangkan kaum muslimin di bawah komandonya.
    Setelah syahidnya tiga orang komandan kaum muslimin tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menengadahkan wajahnya dan berdoa,
    Ya Allah, dia adalah pedang di antara pedang-pedang-Mu maka menangkanlah ia.”
    Sejak hari itu Khalid bin Walid dijuluki dengan saifullah (pedang Allah).

    Kejeniusan Khalid bin Walid

    Kejeniusan Khalid bin Walid secara militer tampak sangat jelas di Perang Mu’tah. Setelah gugurnya tiga orang komandan sebelumnya, mulanya panji diambil oleh Tsabit bin Aqram radhiallahu ‘anhu. Panji itu dipegangnya dengan tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan muslimin agar barisan kaum muslimin tidak kocar-kacir. Belum beberapa saat Tsabit bin Aqram memegang panji itu, ia segera berlari menuju Khalid bin Walid dan berkata kepadanya, “Ambillah panji ini, wahai Abu Sulaiman.”
    Dengan penuh adab dan rendah hati Khalid berkata, “Tidak… tidak… aku tak akan memegang panji itu. Engkau yang lebih berhak memegangnya karena engkau lebih tua dan ikut dalam Perang Badar.”
    Tsabit bin Aqram berkata, “Ambillah, karena engkau yang lebih berpengalaman dariku dalam berperang. Demi Allah, aku tidak mengambil panji ini kecuali untuk menyerahkannya kepadamu.”
    Kemudian Tsabit bin Aqram berteriak kepada seluruh pasukan, “Apakah kalian ridha dengan kepemimpinan Khalid?”
    Mereka serentak menjawab, “Ya.”
    Khalid segera mengambil panji dengan tangan kanannya dan membawanya ke depan barisan. Ia berperang dengan sangat berani. Tidak pernah terlihat orang seberani dirinya. Sampai ada sembilan pedangnya patah di tangan dan tidak ada satu pun yang tidak terkena luka kecuali bagian kanannya. Dengan pasukan yang terbatas itu, sepanjang siang di hari pertama peperangan ia berhasil bertahan di hadapan lautan pasukan Romawi yang sangat besar.
    Khalid bin Walid merasa perlu untuk melakukan semacam tipu muslihat perang guna menimbulkan rasa takut dan gentar di hati pasukan Romawi dan kaum musyrikin lainnya. Sehingga, ia bisa pulang bersama pasukan muslimin tanpa dikejar oleh pasukan Romawi dan kaum musyrikin. Ia sangat menyadari bahwa untuk bisa lolos dari cengkeraman mereka sangatlah sulit. Seandainya pasukan muslimin teriihat lari, musuh akan mengejar. Saifullah mulai memandangi medan perang yang luas itu dengan kedua matanya yang tajam seperti mata elang. Ia berpikir keras mencari cara melepaskan pasukan muslimin dari krisis yang ada di hadapannya.
    Di sini Khalid menampakkan kejeniusan, kemahiran, dan kecerdasannya dalam berinteraksi dengan kondisi yang sangat sulit. Pada pagi hari kedua, Khalid mengubah posisi pasukan dan menyusun strategi dari awal. Pasukan yang semula di barisan depan diletakkannya di barisan belakang dan pasukan di sayap kanan ditempatkannya di sayap kiri, dan begitu juga sebaliknya. Ketika pasukan musuh melihat hal itu, mereka seakan tak mengenali pasukan ‘baru’ ini. Mereka berkata sesamanya, “Bantuan telah datang pada mereka.” Akhirnya mereka mulai merasa gentar.
    Setelah kedua pasukan bertemu dan saling menguji kekuatan lawan beberapa saat, Khalid mulai mundur bersama beberapa pasukan sedikit demi sedikit dengan tetap menjaga komposisi barisan pasukan. Pasukan Romawi dan kaum musyrikin tidak berani mengikuti kaum muslimin karena mereka mengira bahwa kaum muslimin sedang menipu mereka dan berusaha melakukan muslihat untuk menjebak mereka ke padang pasir tak bertepi.
    Begitulah. Akhirnya pasukan musuh kembali ke negeri mereka dan tidak berpikir untuk mengejar pasukan muslimin. Di bawah komando Khalid bin Walid kaum muslimin berhasil meninggalkan medan perang dalam keadaan selamat sampai kembali ke Madinah.

    Memimpin Sariyyah ke Ukaidir Daumat Jandal

    Pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Khalid bin Walid memimpin 420 prajurit menemui Ukaidir bin Abdul Malik dari suku Kindah (sebuah suku di Yaman). Ia adalah seorang Raja Nasrani di daerah Daumat Jandal. Sebelum bergerak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi berita baik kepada Khalid bahwa ia akan menyerang si Raja yang dalam keadaan lengah dan Khalid akan bisa menangkapnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
    Sesungguhnya engkau akan mendapatinya sedang memburu sapi.”
    Khalid berangkat memimpin sariyah-nya menuju Daumat Jandal sampai ia tiba di perbatasan daerah itu. Ia sudah bisa melihat dengan jelas keadaan di dalam daerah tersebut.
    Ukaidir bin Abdul Malik adalah seseorang yang sangat gemar berburu sapi. Pada malam itu, ketika ia berada di beranda istannya bersama istrinya, tiba-tiba ada beberapa ekor sapi yang mendorong pintu benteng dengan tanduknya. Istrinya memandang dari atas pintu benteng dan menyaksikan ulah sapi-sapi tersebut.
    Dengan penuh heran, istrinya bertanya, “Apakah engkau pernah melihat hal seperti ini sebelumnya?”
    Ukaidir bin Abdul Malik menjawab, “Belum, demi Tuhan.”
    “Lalu siapa yang membiarkan sapi-sapi tersebut lepas?” tanya istrinya lagi.
    “Tak ada seorang pun,” jawab Ukaidir,
    Ukaidir bin Abdul Malik memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan kudanya. Kemudian ia bersama beberapa orang keluarganya –termasuk saudara Hassan- keluar untuk memburu sapi-sapi itu.
    Khalid bin Walid memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia segera mengejar mereka. Akhirnya ia dapat menawan Ukaidir bin Abdul Malik. Sementara saudaranya Hassan tewas.
    Ukaidir bin Malik mengenakan jubah dari sutra yang ditenun dengan emas. Para sahabat sangat takjub melihat jubah tersebut. Akan tetapi Khalid adalah seseorang yang tidak tertarik pada kesenangan dan perhiasan duniawi. Sedikit pun ia tidak bergerak untuk menyimpan jubah mewah tersebut. Ia bahkan langsung mengirim jubah itu ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum ia sampai ke Madinah.
    Setelah Khalid bin Walid datang membawa Ukaidir bin Abdul Malik menghadap Rasulullah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin keselamatannya dan mengadakan perjanjian damai dengannya, dengan syarat ia mesti membayar jizyah. Kemudian Rasulullah membebaskannya dan membiarkannya kembali ke daerahnya.

    Memerangi Orang-Orang Murtad

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpulang ke haribaan Tuhannya setelah AllahSubhanahu wa Ta’ala menenteramkan jiwanya, menyempurnakan nikmat-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, dan menyempurnakan agama yang telah Dia ridhai sebagai konsep hidup untuk seluruh makhluk-Nya. Akan tetapi, manusia terbagi dalam beberapa golongan: ada mukmin yang berkeyakinan sempurna, ada mukmin yang imannya masih mudah goyah, ada yang kafir selalu menentang, dan ada munafik yang terbukti kemunafikannya – pagi bersama golongan ini tapi sore bersama golongan yang lain. Musibah besar itu datang secara tiba-tiba kepada kaum muslimin dengan wafatnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti angin kencang, berita yang sangat menyedihkan itu tersebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab.
    Di sini kemunafikan menampakkan wujudnya. Yahudi dan Nasrani pun mulai melihat-lihat peluang. Ahli kebohongan, baik laki-laki maupun perempuan mulai menyebarkan berita-berita dusta. Kelompok-kelompok kaum murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat mulai mempersiapkan diri untuk melancarkan konspirasi berbahaya, Abu Bakar menerima tanggung jawab kekhilafan. Ia bersikap sangat tegas dan menolak segala bentuk ‘basa-basi’ menghadapi kaum munafik dan murtad.
    Abu Bakar ash-Shiddiq menyiapkan pasukan muslimin dan memimpin pasukan secara langsung menuju suku-suku yang murtad dari Bani Abs, Bani Murrah, dan Dzubyah. Ia menolak setiap usaha sahabat-sahabat terkemuka untuk menghalangi niatnya atau menyerahkan komando pasukan kepada sahabat yang lain sementara ia tetap tinggal di Madinah dalam kondisi yang sulit itu.
    Perang pun berlangsung dengan sengit. Dengan karunia Allah dan keberanian Abu Bakar, kaum muslimin memperoleh kemenangan gemilang dalam perang tersebut. Belum berapa lama pasukan muslimin beristirahat di Madinah, Khalifah kembali memanggil mereka untuk bersiap menghadapi perang kedua.
    Berita tentang pemberontakan kaum murtad dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Akhirnya ash-Shiddiq kembali berniat untuk memimpin pasukan kedua ini secara langsung. Para sahabat terkemuka sudah tidak bisa menahan diri lagi. Mereka telah sepakat agar Khalifah tetap berada di Madinah.
    Melihat kesepakatan para sahabat tersebut, khalifah akhirnya bersedia untuk tetap berada di Madinah. Kemudian ia menoleh pada Khalid bin Walid, sang pedang Allah, pahlawan Islam, panglima jenius, seseorang yang tak pernah absen dari berbagai peperangan dan sangat terlatih serta berpengalaman di arena jihad. Khalifah memanggilnya dan ia segera mengabulkan panggilan itu. Khalifah menyerahkan komando pasukan kepadanya dan ia taat menerima amanah tersebut.
    Setelah itu Khalifah mengumumkan hal tersebut kepada seluruh pasukan. Ia berkata, “Berangkatlah dengan nama Allah dan diiringi keberkahan-Nya. Pemimpin kalian adalah Khalid bin Walid, maka dengarlah arahannya dan patuhlah kepadanya.”
    Setelah itu Abu Bakar minta bicara empat mata dengan Khalid. Abu Bakar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hamba Allah dan saudara suatu kaum yang paling baik adalah Khalid bin Walid. Khalid bin Walid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Allah hunuskan kepada kaum kafir dan munafikin’.”
    Kemudian ia berwasiat kepada Khalid, “Wahai Khalid, engkau harus senantiasa bertakwa kepada Allah dan mengutamakan Allah dari apa saja, serta berjihad di jalan-Nya. Sebagaimana engkau lihat, aku telah mengangkatmu sebagai pemimpin terhadap kaum muhajirin dan Anshar yang termasuk ahli Badar (orang-orang yang ikut ambil bagian dalam Perang Badar).”

    Perang Yamamah

    Khalid bin Walid membawa pasukannya dari satu peperangan ke peperangan yang lain dan dari satu kemenangan pada kemenangan yang lain sampai pada peperangan yang sangat menentukan, yaitu Perang Yamamah. Di Yamamah, Bani Hanifah beserta suku-suku lain yang bergabung dengan mereka telah mempersiapkan pasukan murtad yang paling berbahaya yang dikomandoi oleh Musailamah al-Kadzdzab. Baru saja Musailamah mendengar bahwa Khalid bin Walid bersama pasukannya sedang menuju padanya, ia segera mempersiapkan barisan pasukannya dan menjadikannya benar-benar menjadi bahaya yang hakiki serta musuh yang menakutkan bagi muslimin.
    Khalid bin Walid berhenti di daerah berpasir di perbatasan Yamamah. Musailamah datang dengan penuh congkak dan sombong. Jumlah pasukannya sangat banyak dan panjang seolah-olah barisan itu tak berujung. Khalid menyerahkan bendera dan panji pada masing-masing komando sayap pasukan.
    Kedua pasukan pun bertemu. Dimulailah peperangan yang sangat menegangkan. Berturut-turut syuhada muslimin berguguran. Khalid menyadari keunggulan musuh dari segi jumlah. Akan tetapi dengan pandangan yang dalam dan cerdas, ia menangkap satu titik kelemahan dalam pasukannya, yaitu kebanyakan mereka adalah Arab Badui yang baru masuk Islam. Kemudian Khalid menyeru, “Wahai kaum Anshar…” kaum Anshar datang kepadanya satu demi satu.
    Kemudian ia menyeru lagi, “Wahai kaum Muhajirin…” Kaum Muhajirin pun berkumpul di sekitarnya. Lalu ia ulang kembali formasi pasukannya di medan perang. Ia tempatkan pasukan dari Arab Badui di bagian belakang. Kemudian ia menyeru, “Jagalah jarak dari yang lain. Hari ini kita akan melihat ketangguhan masing-masing kelompok.”
    Mereka mengambil jarak satu sama lain. Kaum Muhajirin berada di bawah satu panji dan kaum Anshar juga berada di bawah satu panji. Dalam hitungan beberapa menit saja arah peperangan berubah. Sekarang pasukan Musailamah yang jatuh berguguran bagaikan laron yang berjatuhan. Arena perang dipenuhi jasad pasukan Musailamah sampai akhirnya ia sendiri binasa.
    Bersambung insya Allah…