16 Sep 2012

Jin yang Shalih, Mengamalkan Ketaatan

By: rnppsalatiga On: Minggu, September 16, 2012
  • Berbagi


  • jin muslim
    Tidak semua jin yang didakwahi mau mengikuti dan beriman. Di antara mereka ada yang shalih dan ada yang tidak. Mereka menempuh jalan yang berbeda-beda. Seperti juga manusia, ada yang mau mengikuti kebenaran dengan baik, adapula yang membangkang.

    Di antara jin ada yang taat dan ada pula yang menyimpang dari kebenaran. Jin yang taat adalah yang benar-benar memilih jalan yang lurus. Kemudian ia akan mendapat surga dan segala yang telah AllahSubhanahu wa Ta’ala sediakan untuk kaum yang shalih.
    Sedangkan yang menyimpang dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia akan menjadi bahan bakar bagi neraka Jahannam.
    Golongan jin yang beriman adalah golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk mereka agar tidak mencuri berita dari langit. Sedangkan golongan yang membangkang dan tidak mau beriman masih terus membantu para dukun. Mereka menuri berita dari langit meskipun harus menghadapi para malaikat dan panah-panah api.

    Jin yang Shalih Menyimak Alquran dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

    Setelah jin-jin yang pertama kali mendengar Alquran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyampaikan dakwah kepada kaumnya, terbagilah kaum jin menjadi golongan yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan golongan yang membangkang.
    Golongan yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jin-jin yang beriman itu berbondong-bondong mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Alquran kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memenuhi permintaan mereka.
    Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak shahabat yang mau mengikuti beliau.
    Namun hanya shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengikutinya. Mereka berdua menuju ke sebuah tempat yang tinggi di daerah Mekah. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammembuatkan garis untuk Abdullah bin Mas’ud dengan menggunakan kakinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Mas’ud agar tidak keluar dari garis itu, karena kalau keluar dari garis itu ia bisa mendapatkan bahaya.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu meninggalkan Ibnu Mas’ud, lalu berdiri dan mulai membaca Alquran. Tiba-tiba beliau dikerumuni oleh makhluk yang jumlahnya banyak. Makhluk-makhluk itu menghalangi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu sehingga dia tidak bisa melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa mendengar suara beliau.
    Setelah beberapa lama berselang, makhluk-makhluk itu pergi berkelompok-kelompok seperti awan yang berbondong-bondong, tetapi masih tersisa sekelompok kecil dari mereka. Ketika fajar menyingsing, sekelompok kecil jin itu pun pergi meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.  Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
    “Apakah kamu tertidur?”
    Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidak.”
    Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan lagi,
    “Sesungguhnya berkali-kali saya ingin meminta bantuan kepada orang-orang, tapi saya mendengarmu memberikan isyarat dengan suara tongkat kepada jin-jin itu agar mereka duduk.”
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
    “Bila engkau keluar dari garis itu, aku tidak bisa menjamin engkau selamat dari sambaran sebagian mereka.”

    Jin yang Shalih Senantiasa Belajar Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

    Pada hari yang lain, para shahabat tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat lamanya. Lalu mereka mencari-cari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pelosok kota dan lembah-lembah. Hingga di antara para shahabat ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diculik.
    Ketika telah subuh, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul dari arah Goa Hira..
    Para sahabat mengatakan,
    “Kami kehilangan engkau, lalu kami mencari-cari di seluruh pelosok kota dan lembah, namun tidak juga kami temukan. Sehingga malam ini menjadi malam yang teramat mencekam bagi kami.”
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada para shahabat:,
    “Salah seorang dai dari kalangan jin mendatangiku. Lalu aku pergi bersamanya, kemudian aku membacakan Alquran kepada mereka.”
    Kemudian beliau menunjukkan kepada para shahabat jejak dan bekas tempat duduk yang berupa api.

    Bekal Makanan Jin dan Tunggangannya

    Pada kisah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita mengetahui bahwa sebelum fajar masih ada sebagian jin yang tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Selain jin-jin itu belajar Alquran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka juga bertanya tentang bekal yang bisa mereka makan dan makanan untuk kendaraan mereka.
    Juga pada kisah para shahabat mencari-cari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada para jin bahwa yang bisa mereka gunakan sebagai bekal adalah tulang-tulang binatang yang disembelih dengan menyebut Nama Allah. Sedangkan makanan untuk tunggangan mereka adalah kotoran binatang.
    Karena jin ketika mendapatkan tulang, mereka akan mendapatkan pula dagingnya sebagaimana ketika dimakan. Juga ketika mendapatkan kotoran binatang, mereka akan mendapatkan bijinya sebagaimana ketika dimakan.
    Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menggunakan tulang dan kotoran binatang untuk membersihkan kotoran manusia, karena ia menjadi bekal makanan bagi jin-jin yang beriman dan tunggangan mereka. Di samping juga kotoran binatang itu sifatnya kotor.
    Sawad bin Qarib Radhiallahu ‘Anhu dan Jin yang Shalih
    Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah, ada seorang dukun di negeri Yaman, ia bernama Sawad bin Qarib. Kita simak saja Sawad bin Qarib radhiallahu ‘anhu menceritakan jin yang mengajaknya masuk Islam:
    Pada suatu malam ketika aku sedang dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba jin yang sering memberitahuku datang.
    Ia membangunkanku dengan kakinya, lalu ia berkata:
    “Wahai Sawad bin Qarib pahamilah, dan pikirkanlah bila engkau memang bisa berpikir. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari keturunan Luai bin Ghalib telah diutus. Ia mengajak (umat manusia) kepada Allah dan kepada peribadatan kepada-Nya saja.”
    Kemudian jin itu menyampaikan bait-bait syair berikut:
    “Aku heran terhadap jin dan kabar beritanya. Ia mengencangkan tali onta dengan pelananya. Ia meluncur ke Kota Mekah untuk mencari hidayah. Tidaklah jin yang baik itu sama dengan jin yang jahat. Pergilah kepada orang pilihan dari keturunan Hasyim. Dan tataplah dengan keuda matamu ke arah kepala onta itu.”
    Ketika itu aku tidak mempedulikan ucapannya. Aku katakan kepadanya,
    “Biarkan aku tidur, karena sore ini aku sangat mengantuk.”
    Pada malam kedua ia mendatangiku lagi dan membangunkanku dengan menggunakan kakinya, ia mengatakan kepadaku,
    “Wahai Sawad bin Qarib bukankah aku telah mengatakan kepadamu bangun dan pahamilah, pikirkanlah bila engkau memang bisa berpikir, seorang utusan Allah dari keturunan Luai bin Ghalib telah diutus, ia menyeru kepada Allah dan beribadah hanya kepada-Nya.
    Lalu jin itu kembakli mengucapkan syair-syair berikut:
    “Aku heran terhadap jin dan upayanya. Ia mengencangkan tali onta untuk bersafar. Ia meluncur ke Kota Mekah untuk mencari hidayah. Tidaklah jin yang jujur itu sama dengan jin yang pendusta. Pergilah kepada orang pilihan dari keturunan Hasyim. Ia berada di antara onta-onta dan pengawalnya.”
    Pada hari kedua itu aku masih juga tidak mempedulikannya.
    Namun pada malam ketiga ia mendatangiku lagi dan membangunkanku dengan kakinya. Ia mengatakan kepadaku,
    “Wahai Sawad bin Qarib bukankah aku telah mengatakan ‘pahamilah dan pikirkanlah bila engkau bisa berpikir, bahwasanya seorang utusan Allah dari keturunan Luai bin Ghalib telah diutus untuk berdakwah kepada Allah dan peribadatan-Nya.”
    Lalu jin itu melantunkan syair berikut,
    “Aku heran terhadap jin dan berita yang ia bawa. Menghela ontanya dengan menaiki pelana. Ia meluncur ke Kota Mekah untuk mencari hidayah. Tidaklah jin yang beriman sama dengan jin yang kafirnya. Pergilah kepada orang pilihan dari keturunan Hasyim. Tidak orang yang permulaan sama dengan yang belakangan.”
    Sawad berkata lagi,
    “Terjadilah dalam diriku kecintaan kepada Islam, dan aku menjadi sangat menginginkannya. Ketika telah pagi, aku mengencangkan tali kekang ontaku untuk menuju Mekah.
    Di tengah perjalanan aku diberi tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hijrah ke Madinah. Lalu akupun menuju ke Madinah. Sampailah aku di Madinah, dan aku bertanya tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan kepadaku ia sedang berada di masjid. Lalu aku berhenti di masjid, aku menambatkan ontaku, dan aku masuk masjid.
    Di dalam masjid ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat bersama beliau. Aku katakan: Dengarkanlah ucapanku wahai Rasulullah. Lalu Abu Bakar radhiallahu ‘anhu mengatakan, ‘Mendekatlah kepada beliau.’ Ia masih terus mengatakan ‘mendekatlah’ hingga aku berada di hadapannya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan, ‘Sampaikanlah, dan kabarkanlah kepadaku tentang jinmu yang mendatangimu’.”
    Ringkas cerita, Sawad menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia didatangi oleh jin pembantunya selama tiga hari berturut-turut memberitahukan adanya seorang utusan Allah dari keturunan Luai bin Ghalib.
    Setelah itu Sawad mengucapkan syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Dzat Yang Maha Perkasa. Bergembiralah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat dengan keislamannya.
    Setelah Sawad bin Qarib masuk Islam, jin itu tidak lagi mendatanginya, dan Sawad lebih senang dengan teman penggantinya yang lebih baik, yaitu Alquran yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Demikianlah jin yang shalih, ia akan mengajak kepada kebaikan, dan mengajak orang kepada Islam.
    Mereka juga ikut serta dalam perang membela Islam. Mereka tidak suka mengganggu manusia. Tidak membantu orang dalam kejahatan. Dan mereka senantiasa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Sumber: Kisah Jin Menyimak Al Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathul Mujib bin Bahruddin, Gema Ilmu

    14 Sep 2012

    Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 5 – Selesai)

    By: rnppsalatiga On: Jumat, September 14, 2012
  • Berbagi

  • Kisah Nabi Musa dan Khadhir (Nabi Khidir)


    Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di tengah-tengah Bani Israil, lalu ia ditanya, “Siapakah manusia yang paling dalam ilmunya?” Ia menjawab, “Sayalah orang yang paling dalam ilmunya.” Maka AllahSubhanahu wa Ta’ala menyalahkannya karena tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. AllahSubhanahu wa Ta’ala kemudian mewahyukan kepadanya yang isinya, “Bahwa salah seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan lebih dalam ilmunya daripada kamu.” Musa berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara menemuinya?” Maka dikatakan kepadanya, “Bawalah ikan (yang sudah mati) dalam sebuah keranjang. Apabila engkau kehilangan ikan itu, maka orang itu berada di sana.”

    Musa pun berangkat bersama muridnya Yusya’ bin Nun dengan membawa ikan dalam keranjang, sehingga ketika mereka berdua berada di sebuah batu besar, keduanya merebahkan kepala dan tidur (di atas batu itu), lalu ikan itu lepas dari keranjang dan mengambil jalannya ke laut dan cara perginya membuat Musa dan muridnya merasa aneh.
    Keduanya kemudian pergi pada sisa malam yang masih ada hingga tiba pagi hari. Ketika pagi harinya, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidaklah merasakan keletihan kecuali setelah melalui tempat yang diperintahkan untuk didatangi.
    Muridnya kemudian berkata kepadanya, “Tahukah engkau ketika kita mecari tempat berlindung di batu tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, dan tidak ada yang membuatku lupa untuk mengingatnya kecuali setan,” Musa berkata, “”Itulah (tempat) yang kita cari.”
    Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Ketika mereka sampai di batu besar itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menutup dirinya dengan kain atau tertutup dengan kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Kemudian Khadhir berkata, “Dari mana ada salam di negerimu?” Musa berkata, “Aku Musa.” Khadhir berkata, “Apakah Musa (Nabi) Bani Israil?” Ia menjawab, “Ya.” Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” Khadhir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku, wahai Musa?” Sesungguhnya aku berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau berada di atas ilmu yang Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “Engkau akan mendapatiku insya Allah sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan mendurhakai perintahmu.”
    Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki perahu, lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya berbicara dengan penumpangnya agar mengangkutkan mereka berdua, dan ternyata diketahui (oleh para penumpangnya) bahwa yang meminta itu Khadhir, maka mereka pun mengangkut keduanya tanpa upah.
    Tiba-tiba ada seekor burung lalu turun ke tepi perahu kemudian mematuk sekali atau dua kali patukan ke laut. Khadhir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya di hadapan ilmu Allah), lalu Khadhir mendatangi papan di antara papan-papan perahu kemudian dicabutnya.” (Melihat keadaan itu) Musa berkata, “Orang yang telah membawa kita tanpa meminta imbalan, namun malah engkau lubangi perahunya agar penumpangnya tenggelam.” Khadhir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” Musa berkata, “Janganlah engkau hukum aku karena lupaku dan janganlah engkau bebankan aku perkara yang sulit.”
    Untuk yang pertama Musa lupa, maka keduanya pun pergi, tiba-tiba ada seorang anak yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khadhir memegang kepalanya dari atas, lalu menarik kepalanya dengan tangannya. Musa berkata, “Apakah engkau hendak membunuh seorang jiwa yang bersih bukan karena ia membunuh orang lain.” Khadhir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.”
    Keduanya pun berjalan, sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung, keduanya meminta agar penduduknya menjamu mereka, namun tidak diberi. Keduanya pun mendapatkan sebuah dinding yang hampir roboh, maka Khadhir menegakkannya, Khadhir melakukannya dengan tangannya. Musa pun berkata, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Maka Khadhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.”
    Kemudian Khadhir menyampaikan alasan terhadap tindakan yang dilakukannya, ia berkata:
    “Adapun kapal itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan kapal itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap kapal.–Dan adapun anak muda itu, maka kedua(orang tuanya)nya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.–Dan kami menghendaki, agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).–Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Itulah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS. Al Kahfi: 79-82).

    Kisah Sapi Betina

    Di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam terjadi beberapa perkara aneh, di antaranya kisah terbunuhnya salah seorang Bani Israil yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Mereka telah mencari siapa pembunuhnya namun tetap saja tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Ketika mereka telah bosan mencarinya, maka mereka ingat, bahwa di tengah-tengah mereka ada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu sebagian mereka mendatanginya dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar Dia memberitahukan siapa pembunuhnya.
    Lalu  Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah agar menyelesaikan masalah itu, kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar ia memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi betina.
    Saat mereka mendengar perintah itu, mereka heran dan menyangka bahwa hal itu hanya mengolok-olok mereka, sehingga Bani Israil tidak segera melaksanakan perintah itu, bahkan kembali bertanya tentang sifat-sifat sapi betina itu dan meminta penjelasan lebih rinci tentang sifat-sifatnya.
    Karena mereka tidak segera melaksanakan perintah itu bahkan membebani diri dengan bertanya lebih rinci sifat-sifatnya sehingga mereka diberi beban dengan beban yang lebih berat, diberitahukan kepada mereka sifat-sifatnya yang berbeda dengan sapi betina lainnya.
    Allah menyuruh mereka menyembelih sapi yang tidak muda dan tidak tua yang sudah banyak melahirkan, tetapi sapi itu masih kuat yang baru melahirkan sekali atau dua kali. Kalau mereka langsung mengerjakan, tentu akan mudah mendapatkannya, tetapi mereka malah bertanya lagi kepada Nabi Musa sifat-sifatnya; mereka bertanya apa warnanya, maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”
    Mereka pun terus bertanya tentang sapi betina itu sehingga mereka dibebani dengan beban yang lebih berat lagi, yaitu perintah Nabi Musa ‘alaihissalam berikutnya, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.”
    Mereka pun berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”.
    kemudian mereka mencari sapi itu dengan susah payah hingga akhirnya mereka menemukannya dan membelinya dengan harga yang cukup mahal, mereka pun menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Lihat. QS. Al Baqarah: 69-71)
    Selanjutnya Nabi Musa ‘alaihissalam mendekati sapi itu dan mengambil bagian anggota badannya, kemudian ia gunakan untuk memukul orang yang terbunuh itu, maka tiba-tiba orang yang terbunuh itu dapat bergerak setelah Allah mengembalikan ruhnya kepadanya, kemudian ia memberitahukan siapa pembunuhnya, yaitu putra saudaranya,  kemudian ia pun mati lagi. Ini termasuk mukjizat besar dari Allah untuk menunjukkan kebenaran Nabi Musa ‘alaihissalam.

    Kisah Nabi Musa dengan Qarun

    Qarun termasuk kaum Nabi Musa ‘alaihissalam. Ia adalah seorang yang kaya, harta dan simpanannya banyak, bahkan kunci-kunci simpanan kekayaannya tidak dapat dibawa kecuali oleh orang-orang yang kuat.
    Akan tetapi, Qarun mendurhakai Nabi Musa dan Harun, ia tidak menerima nasihat keduanya, dan ia menyangka bahwa harta dan kenikmatan yang didapatkannya adalah karena ia berhak memilikinya dan bahwa ia memperolehnya karena ilmunya.
    Suatu hari, Qarun keluar ke Madinah dengan perhiasan yang besar dan perlengkapan yang banyak sambil memakai pakaian yang bagus. Ketika ia melewati manusia, maka sebagian manusia mendekatinya untuk memberinya nasihat dengan berkata, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.–Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash: 76-77)
    Maka Qarun menolak nasihat itu dengan sombong, ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”
    Ia menyangka bahwa harta yang diperolehnya ini karena kecerdasan dan kemampuannya.
    Suatu ketika Qarun keluar ke hadapan manusia dengan satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan segala kemewahannya untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya. Saat itu, sebagian manusia ada yang terfitnah (terpukau) dengan kekayaan dan perhiasan Qarun, mereka ingin sekiranya mereka mempunyai seperti yang dimiliki Qarun, tetapi orang-orang saleh di antara mereka berkata, “Pahala Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan beramal saleh.”
    Ketika Qarun terus bersikap sombong dan congkak, maka Allah benamkan Qarun dan rumahnya ke dalam bumi, dan tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya, dan ketika itu, orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Wahai, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Al Qashash: 82)

    Wafatnya Nabi Musa ‘Alaihissalam

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalamsebagai berikut:
    جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ. فَقَالَ لَهُ: أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا، قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي، قَالَ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ: الْحَيَاةَ تُرِيدُ؟ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ، فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً، قَالَ: ثُمَّ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ تَمُوتُ، قَالَ: فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ، رَبِّ أَمِتْنِي مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ، رَمْيَةً بِحَجَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ، عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ»
    Malaikat maut datang kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu malaikat itu berkata kepadanya, “Penuhilah Tuhanmu.” Maka Nabi Musa segera memukul mata malaikat maut dan mencoloknya, kemudian malaikat itu kembali kepada Allah Ta’ala dan berkata, “Engkau mengirimku kepada seorang hamba yang tidak mau mati.” Dan ia telah mencolok mataku, lalu Allah mengembalikan matanya dan berfirman, “Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan, “Apakah engkau ingin hidup?” Jika engkau ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di atas punggung sapi, maka hidupmu sampai waktu sebanyak bulu yang tertutup tanganmu. Engkau masih dapat hidup setahun.” Kemudian Musa berkata, “Selanjutnya apa?” Allah berfirman, “Selanjutnya engkau mati.” Musa berkata, “Kalau begitu sekaranglah segera.” Wahai Tuhanku, matikanlah aku di dekat negeri yang suci yang jaraknya sejauh lemparan batu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, kalau sekiranya aku berada dekat sana, tentu aku akan memberitahukan kalian kuburnya di pinggir jalan, di dekat bukit pasir merah.” (HR. Muslim)
    Disebutkan dalam riwayat, bahwa para malaikat yang mengurus pemakamannya dan yang menyalatkannya. Ketika itu, usianya 120 tahun.
    Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
    Baca kisah sebelumnya:
    Oleh: Marwan bin Musa
    Maraaji’:
    • Al Qur’anul Karim
    • Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
    • Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
    • Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
    • dll.

    13 Sep 2012

    Kejayaan Islam Bukan Dengan Penampilan

    By: rnppsalatiga On: Kamis, September 13, 2012
  • Berbagi

  • http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/c0.0.400.400/p403x403/418247_428945643815285_2100207906_n.jpgOleh: al Ustadz Abu Humaid Rosyid an Nashr








    Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai pada sebuah telaga di jalan yang menuju ke daerah Ilya’, sedangkan ada pada beliau sebuah gamis dari ba­han kain kasar yang telah digambar dan tepi ujung gamis itu terbakar. Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pang­gilkan untukku, mana pemimpin kalian?” Mereka pun memanggil pemimpin mereka yang bernama Jalmus. Umar berkata, “Cucilah baju saya ini dan ja­hitlah, kemudian ukurlah ukuran baju atau gamis.”
    Maka didatangkan kepada beliau sebuah kain “Kat­tan”. Umar bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Kattan.” Umar bertanya lagi, “Apa itu kain Kattan?” Lalu mereka pun menjelaskan tentang kain tersebut. Maka beliau melepaskan pakaiannya, lalu mencuci­nya dan mengukurnya, lalu diberikan kepada be­liau. Maka Umar melepas lagi pakaian mereka lalu memakai pakaiannya.
    Lalu Jalmus mengatakan, “Kamu adalah seorang pemimpin Arab, dan negeri ini adalah sebuah negeri yang tidak pantas unta ada di negeri ini. Kalau seandainya engkau memakai pa­kaian selain pakaian yang engkau kenakan dan eng­kau mengendarai seekor kuda tunggangan, maka itu akan lebih mulia untukmu di mata rakyat Romawi.” Maka Umar berkata:
    “Kami adalah kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka kami tidak ingin mencari pengganti kecuali Allah.”
    Dan dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya ka­lian dahulu adalah paling hina, paling rendah, dan paling sedikitnya manusia, lalu Allah muliakan ka­lian dengan Islam. Maka apa saja yang kamu cari dari bentuk kemuliaan selain Allah, niscaya Allah akan hinakan kalian.” (Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 7/6o)
    FAEDAH KISAH DI ATAS
    1. Sesungguhnya pemimpin kaum muslimin zaman dahulu tidak takjub sedikit pun ke­pada musuh-musuh Islam, bahkan menghi­nakan apa yang ada pada mereka. Sebagai­mana firman Allah:
      “Apakah kamu akan memberikan harta kepa­daku? Apa yang Allah berikan kepadaku lebih baik daripada apa yang Allah berikan kepadamu. (QS. an-Naml [27]:36)
    2. Seorang muslim menjadi mulia karena Is­lam, sebagaimana firman Allah:
    Katakanlah (wahai Muhammad): “Dengan ka­runia Allah dan rahmat-Nya hendaknya dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus [10] :58)
    3. Meninggalkan Islam adalah suatu kehi­naan dan kelemahan
    4. Hendaknya seorang muslim meninggalkan perkara yang membuat takjub orang lain dan perkara yang melalaikan. Allah Azza wa Jalla  ber­firman:
    Maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyu­kai segala sesuatu yang baik (kuda) yang mem­buat aku tersibukkan dari ingat akan kekuasaan Tuhanku. ” (QS. Shad [38]:32) []
    Sumber: Majalah al Furqon Edisi 1 Tahun Keduabelas Sya’ban 1433 Hal.1
    5