11 Sep 2012

Menyentuh Najis Tidak Membatalkan Wudhu

By: rnppsalatiga On: Selasa, September 11, 2012
  • Berbagi

  • Batalkah Wudhu Ketika Menyentuh Najis?

    Pertanyaan:
    Apakah menyentuh najis bisa membatalkan wudhu? Misanya, nyeboki anak trus kena najisnya, apakah wajib mengulangi wudhu?
    Tri, Klaten

    Jawaban:
    Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du
    Menyentuh najis bukan termasuk pembatal wudhu. Karena yang menjadi pembatal wudhu adalah hadas, bukan menyentuh najis.
    Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan:
    لا ينتقض الوضوء بغسل النجاسة على بدن المتوضئ أو غيره
    “Wudhu tidak batal disebabkan mencuci najis, baik yang berada di badan orang yang wudhu maupun orang lain.” (Majalah Buhuts Islamiyah, volume 22, Hal. 62)
    Syaikh Ibnu Baz juga menjelaskan yang sama:
    “أما مس الدم أو البول أو غيرهما من النجاسات فلا ينقض الوضوء ، ولكن يغسل ما أصابه
    Menyentuh darah, atau air kencing atau benda najis lainnya, tidak membatalkan wudhu. Hanya saja, dia harus mencuci bagian yang terkena najis. (Fatawa Ibnu Baz, 10: 141)
    Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)


    Baca selengkapnya: http://www.konsultasisyariah.com/menyentuh-najis-tidak-membatalkan-wudhu/#ixzz267EN349X

    Read more about Bersuci by www.konsultasisyariah.com

    10 Sep 2012

    Cerdasnya Imam Syafii rahimahullah

    By: rnppsalatiga On: Senin, September 10, 2012
  • Berbagi

  • Dikisahkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya.
    Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid.
    Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya.
    Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih.
    Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti berikut:
    PERTANYAAN PERTAMA
    Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang menyembelih seekor kambing di rumahnya, kemudian dia keluar sebentar untuk suatu keperluan lalu kembali lagi seraya berkata kepada keluarganya, “Makanlah oleh kalian kambing ini karena ia sudah haram bagiku.’ Lalu dijawab oleh keluarganya pula, “Ia juga haram bagi kami.” (bagaimana hal ini bisa terjadi.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya orang ini dulunya seorang yang musyrik, menyembelih kambing atas nama berhala, lalu keluar dari rumahnya untuk sebagian keperluan lalu diberi hidayah oleh Allah sehingga masuk Islam, maka kambing itu pun jadi haram baginya. Dan ketika mengetahui ia masuk Islam, keluarganya pun masuk Islam sehingga kambing itu juga haram bagi mereka.
    PERTANYAAN KEDUA
    Ada dua orang Muslim yang berakal minum khamar, lalu salah satunya diganjar hukum Hadd (dicambuk 80 kali-red.,) tetapi yang satunya tidak diapa-apakan. (kenapa bisa demikian.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya salah seorang di antara mereka berdua ini sudah baligh dan yang satunya lagi masih bocah (belum baligh).
    PERTANYAAN KETIGA
    Ada lima orang menzinahi seorang wanita, lalu orang pertama divonis bunuh, orang kedua dirajam (dilempar dengan batu hingga mati-red.,), orang ketiga dikenai hukum hadd (cambuk seratus kali-red.,), orang keempat hanya dikenai setengah hukum hadd sedangkan orang kelima dibebaskan (tidak dikenai apa-apa). (Kenapa bisa demikian.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Karena orang pertama tersebut telah menghalalkan zina sehingga divonis murtad dan wajib dibunuh, orang kedua adalah seorang yang Muhshan (sudah menikah), orang ketiga adalah seorang yang Ghairu Muhshan (belum menikah), orang keempat adalah seorang budak sedangkan orang kelima adalah seorang yang gila.
    PERTANYAAN KEEMPAT
    Seorang laki-laki mengerjakan shalat, lalu tatkala memberi salam ke kanan isterinya menjadi ditalak, tatkala memberi salam ke kiri batallah shalatnya serta tatkala melihat ke langit, dia malah wajib membayar 1000 dirham. (kenapa bisa begitu.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Tatkala memberi salam ke kanan, ia melihat seseorang yang telah ia nikahi isterinya saat dia menghilang (dalam pencarian), maka ketika ia melihatnya (suami lama isterinya tersebut) sudah hadir, ditalaklah isterinya tersebut dan tatkala menoleh ke arah kirinya, dia melihat ada najis sehingga batallah shalatnya, lalu ketika menengadah ke langit, dia melihat bulan sabit telah nampak di sana sementara ia punya hutang sebesar 1000 dirham yang harus dibayarnya pada awal bulan begitu nampak bulan sabit tersebut (karena dia harus membayar hutang tersebut pada awal bulan hijriah-red.,).
    PERTANYAAN KELIMA
    Ada seorang imam melakukan shalat bersama empat orang jama’ah di masjid, lalu masuklah seorang laki-laki dan ikut melakukan shalat di samping kanan sang imam. Tatkala imam memberi salam ke kanan dan melihat orang tersebut, maka ia wajib dieksekusi mati sedangkan empat orang yang bersamanya harus dihukum cambuk sedangkan masjid tersebut wajib dihancurkan, (bagaimana bisa demikian.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya lelaki yang datang itu dulunya memiliki seorang isteri, lalu dia bepergian dan meninggalkannya (mantan isterinya tersebut) di rumah saudaranya lantas si imam ini membunuh saudaranya tersebut dan mengklaim bahwa perempuan itu adalah isteri korban yang dikawininya (padahal ia adalah saudara perempuan si korban-red.,) lantas ke-empat orang yang melakukan shalat bersamanya itu bersaksi atas hal itu (bersaksi dusta-red.,), sedangkan masjid tersebut dulunya adalah rumah si korban (saudara laki-laki si wanita yang jadi isterinya-red.,) lalu dijadikan oleh si imam sebagai masjid (sehingga wajib dihancurkan-red.,).
    PERTANYAAN KEENAM
    Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang memiliki budak namun melarikan diri, lalu orang ini berkata, “Dia bebas (merdeka) jika aku makan, hingga aku menemukannya (alias: aku tidak akan makan hingga bisa menemukannya dan bila aku ternyata makan sebelum menemukannya, maka status budak tersebut adalah bebas/merdeka-red.,), bagaimana jalan keluar baginya dari ucapannya tersebut?
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Ia hibahkan saja budak tersebut kepada sebagian anak-anaknya kemudian dia makan, kemudian setelah itu ia menarik kembali hibahnya tersebut.
    PERTANYAAN KETUJUH
    Ada dua orang wanita bertemu dengan dua orang anak laki-laki, lalu kedua wanita tersebut berkata, “Selamat datang wahai kedua anak kami, kedua suami kami dan kedua anak dari kedua suami kami.” (bagaimana gambarannya?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya kedua anak laki-laki itu adalah dua anak dari masing-masing wanita tersebut, lalu masing-masing wanita itu menikah dengan anak laki-laki temannya (kawin silang-red.,), maka jadilah kedua anak laki-laki itu sebagai kedua anak mereka berdua, kedua suami mereka berdua dan kedua anak dari kedua suami mereka.
    PERTANYAAN KEDELAPAN
    Seorang laki-laki mengambil sebuah wadah air untuk minum, lalu dia hanya bisa meminum separuhnya yang halal baginya sedangkan sisanya menjadi haram baginya, (bagaimana bisa terjadi.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya laki-laki itu telah meminum separuh air di wadah, lalu ketika meminum separuhnya lagi ia mengalami ‘mimisan’ sehingga darah menetes ke wadah itu sehingga membuat darah bercampur dengan air. Maka, jadilah ia (sisanya tersebut) haram baginya.
    PERTANYAAN KESEMBILAN
    Ada seorang laki-laki memberi kantong yang terisi penuh dan telah disegel kepada isterinya, lalu ia meminta kepada isterinya tersebut untuk mengosongkan isinya dengan syarat tidak membuka, merobek, menghancurkan segel atau membakarnya sebab bila ia melakukan salah satu dari hal tersebut, maka ia ditalak. (apa yang harus dilakukan sang isteri.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhya kantong itu terisi penuh oleh gula atau garam sehingga apa yang harus dilakukan wanita hanyalah mencelupkannya ke dalam air hingga ia mencair sendiri.
    PERTANYAAN KESEPULUH
    Seorang laki-laki dan wanita melihat dua orang anak laki-laki di jalan, lalu keduanya mencium kedua anak laki-laki tersebut. Dan tatkala keduanya ditanyai mengenai tindakan mereka itu, si laki-laki itu menjawab, “Ayahku adalah kakek dari kedua anak laki-laki itu dan saudaraku adalah paman keduanya sedangkan isteriku adalah isteri ayahnya.” Sedangkan si wanita menjawab, “Ibuku adalah nenek keduanya dan saudara perempuanku adalah bibinya (dari pihak ibu).” (siapa sebenarnya kedua anak itu bagi kedua orang tersebut.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya laki-laki itu tak lain adalah ayah kedua anak laki-laki itu sedangkan wanita itu adalah ibu mereka berdua.
    PERTANYAAN KESEBELAS
    Ada dua orang laki-laki berada di atas loteng rumah, lalu salah seorang dari mereka jatuh dan tewas. Sebagai konsekuensinya, isteri orang yang tewas tersebut menjadi haram bagi temannya yang satu lagi. (bagaimana ini bisa terjadi.?-red.,)
    Jawab Imam asy-Syafi’i:
    Sesungguhnya laki-laki yang jatuh lalu tewas itu adalah orang (majikan/tuan) yang telah menikahkan putrinya dengan budaknya yang bersamanya di atas loteng tersebut (yang selamat), maka tatkala ia tewas, putrinya tersebut mewarisinya sehingga menjadi pemilik budak yang tidak lain suaminya tersebut, maka jadilah ia (putri majikannya tersebut) haram baginya.
    Sampai di sini, sang khalifah Harun ar-Rasyid yang menghadiri perdebatan tersebut tidak mampu menyembunyikan rasa kagumnya terhadap kecerdasan Imam asy-Syafi’i, spontanitasnya, kebagusan pemahamannya dan keindahan ilmunya seraya berkata, “Maha suci Allah atas karunianya kepada Bani ‘Abdi Manaf; engkau telah menjelaskan dengan baik dan menafsirkan dengan begitu menawan serta mengungkapkan dengan begitu fasih.”
    Maka berkatalah Imam asy-Syafi’i, “Semoga Allah memanjangkan umur Amirul Mukminin. Aku mau mengajukan kepada para ulama tersebut satu pertanyaan saja yang bila mereka dapat menjawabnya, maka alhamdulillah sedang bila tidak bisa, aku berharap Amirul Mukminin dapat mengekang keusilan mereka terhadapku.”
    “Ya, itu hakmu, silahkan ajukan pertanyaanmu kepada mereka, wahai asy-Syafi’i,?” kata sang khalifah
    “Ada seorang laki-laki yang meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak 600 dirham namun saudara wanitanya hanya mendapatkan bagian 1 dirham saja dari warisan tersebut, bagaimana cara membagikan warisan tersebut,?” tanya asy-Syafi’i.
    Maka, masing-masing dari para ulama tersebut saling memandang satu sama lain begitu lama namun tidak seorang pun dari mereka yang mampu menjawab satu pertanyaan tersebut sehingga tampak keringat membanjiri jidat mereka. Dan setelah begitu lama mereka hanya terdiam, berkatalah sang khalifah, “Ayo, katakan kepada mereka apa jawabannya.!”
    “Orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris; dua anak perempuan, seorang ibu, seorang isteri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuannya itu mendapatkan dua pertiganya, yaitu 400 dirham; si ibu mendapatkan seperenam, yaitu 100 dirham; isteri mendapatkan seperdelapan, yaitu 75 dirham; dua belas saudara laki-lakinya mendapatkan 24 dirham (masing-masing 2 dirham) sehingga sisanya yang satu dirham lagi itu menjadi jatah saudara perempuannya tersebut,” jawab Imam asy-Syafi’i setelah orang-orang yang ingin menjatuhkannya di hadapan khalifah yang amat mencintainya itu berbuat nekad terhadapnya.
    Dan jawaban Imam asy-Syafi’i tersebut membuat sang khalifah tersenyum seraya berkata, “Semoga Allah memperbanyak pada keluarga besarku orang sepertimu.”
    Lalu beliau memberi hadiah kepada Imam asy-Syafi’i sebanyak 2000 dirham. Hadiah itu diterimanya, lalu dibagi-bagikannya kepada para pelayan istana dan para pengawal.
    Sumber: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fi Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.3-10, Baca juga di buku “Lelucon Orang-Orang Arab”, Muhammad Nuruddin al-Mikki, Penerbit Darul Falah

    Posisi Makmum yang Hanya Satu Orang

    By: rnppsalatiga On: Senin, September 10, 2012
  • Berbagi

  • Bagaimana sebenarnya contoh yang diberikan oleh Rasulullah dalam sholat berjama’ah yang makmumnya hanya satu orang? Sebaiknya kita mempelajari hadits-hadits berikut ini sebelum mengambil kesimpulan.
    Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku pernah sholat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang kepalaku dari belakangku, lalu ia tempatkan aku disebelah kanannya.” (Hadits shahih Riwayat Bukhari 1/177).
    Dari Jabir bin ‘Abdullah , ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri sholat, kemudian aku datang lalu aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memegang tanganku , lantas ia memutarkan aku sehingga ia menempatkan aku di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr yang langsung ia berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Lalu beliau memegang tangan kami sehingga beliau menempatkan kami di belakangnya.” ( Hadits shahih riwayat Muslim dan Abu Dawud).
    Dua dalil di atas mengandung hukum sebagai berikut :
    • Apabila ma’mum seorang , maka ia harus berdiri di sebelah kanan imam.
    • Berdiri di sebelah kanan imam harus sejajar dengan imam, bukan di belakangnya. Dikatakan demikian karena dalam hadits Jabir bin Abdullah sewaktu datang Jabbar bin Shakhr lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menempatkan keduanya dibelakangnya. Ini menunjukkan kedua Shahabat tadinya berada di samping Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sejajar dengan beliau. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menempatkan mereka di belakangnya. Tidak akan dikatakan di belakang kalau bukan mulanya kedua sahabat itu berada sejajar dengan beliau.
    • Apabila ma’mum dua orang atau lebih, maka harus berdiri di belakang imam.(membuat shaf)
    Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “Aku pernah sholat di sisi/tepi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam , dan ‘Aisyah sholat bersama kami di belakang kami, sedang aku berada di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Aku sholat bersamanya.” (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i).
    Keterangan : 
    • Perkataan : Aku pernah sholat di sisi/tepi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah terjemahan dari kalimat: Shollaitu ila janbin Nabiyyi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
    •  Kata ‘janbun’ dalam kamus-kamus bahasa ‘Arab artinya sisi, tepi, samping, sebelah, pihak, dekat.
    • Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas ketika sholat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ia berada disamping sejajar dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
    • Hadits ini juga menunjukkan bahwa perempuan tempatnya di belakang. Baik yang jadi ma’mum itu seorang perempuan saja atau ada laki-laki dan perempuan.
    Dalam kitab Al Muwaththa’ karangan Imam Malik diterangkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah sholat bersama ‘Umar. Ibnu Mas’ud berdiri di sebelah kanan ‘Umar setentang/sejajar dengannya.
    Diriwayatkan bahwa Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Atha’ (seorang Tabi’in). Seseorang menjadi ma’mum bagi seseorang, dimanakah ia (ma’mum) harus berdiri? Jawab Atha’: Di tepinya. Ibnu Juraij bertanya lagi: Apakah si Ma’mum itu harus dekat dengan imam sehingga ia satu shaf dengannya, yaitu tidak ada jarak antara keduanya? Jawab Atha’ : YA. Ibnu Juraij bertanya lagi : Apakah si ma’mum tidak berdiri jauh sehingga tidak ada lowong antara mereka? Jawab Atha’ : YA. (Lihat Subulus Salam jilid 2 halaman 31).
    Kesimpulan :
    Apabila Ma’mum hanya seorang saja, maka ia harus berdiri di sebelah kanan sejajar dengan imam.
    Penutup:
    Tidak ada keterangan dan contoh atau dalil dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan atau menyuruh ma’mum apabila seorang harus bediri di belakang imam meskipun jaraknya hanya sejengkal seperti yang dilakukan oleh kebanyakan saudara-saudara kita sekarang ini.